Imbas politik ini langsung terasa di pasar keuangan. Imbal hasil obligasi 10 tahun Prancis naik sembilan basis poin menjadi 3,51%, memimpin kerugian di pasar obligasi global. Selisih biaya pinjaman Prancis dibanding Jerman melebar lima basis poin menjadi 75, tertinggi sejak April dan naik dari 65 pada akhir Juli. Imbal hasil Prancis kini termasuk yang tertinggi di zona euro, bahkan sudah melampaui Yunani dan Portugal, dan hanya delapan basis poin di bawah Italia.
“Partai oposisi tampaknya bertekad menolak mosi tersebut. Kecuali mereka berubah pikiran, pemerintah akan jatuh,” ujar analis Antonio Barroso dan Jean Dalbard dari Bloomberg Economics.
Indeks saham berisi perusahaan yang paling terpapar risiko domestik Prancis turun 2,9% pada perdagangan Senin, menurut data Barclays.
Mosi tidak percaya ini diajukan Bayrou untuk memperkuat dukungan politik setelah menghadapi penolakan atas rencana pemangkasan belanja dan kenaikan pajak senilai €44 miliar yang dianggap penting untuk menyelamatkan keuangan negara. Bayrou juga mengusulkan penghapusan dua hari libur nasional, yang memicu kritik keras oposisi.
Bayrou mengatakan Macron setuju memanggil kembali parlemen lebih cepat agar pemerintah dapat mempresentasikan rencana tersebut sekaligus menggelar mosi tidak percaya.
“Kami jelas akan menolak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan François Bayrou,” tulis Le Pen di media sosial. “François Bayrou jelas tidak memahami bahwa rakyat Prancis sepenuhnya sadar akan krisis ekonomi dan keuangan yang menjerat negara ini setelah delapan tahun Macronisme.”
Sementara itu, Macron juga menghadapi tekanan di panggung internasional. Bulan lalu, ia bergabung dengan Kanselir Jerman Friedrich Merz dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menemui Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih untuk melobi dukungan bagi Ukraina. Di sisi lain, Uni Eropa kini terjebak dalam perseteruan dagang sengit dengan AS.
Kisruh politik di Paris menimbulkan pertanyaan tentang seberapa lama pemerintahan Bayrou bisa bertahan dan apakah Macron akan tergoda untuk kembali menggelar pemilu kilat guna mengamankan dukungan.
Pemilu presiden Prancis berikutnya dijadwalkan berlangsung pada April atau awal Mei 2027. Jadwal itu hanya bisa berubah jika Macron tak mampu menjalankan tugasnya atau memilih mundur, sesuatu yang ia tegaskan tidak akan dilakukan sebelum masa jabatannya berakhir.
Bayrou sempat mengumumkan kerangka awal anggaran 2026 pada Juli lalu demi mencari dukungan selama reses musim panas. Ia bahkan memilih tidak mengambil liburan dan tetap di Paris untuk meluncurkan kanal YouTube bernama FB Direct guna menjelaskan kebijakan pajak dan anggarannya.
Namun, langkah itu tidak banyak membantu menaikkan citranya. Popularitas Bayrou justru anjlok ke titik terendah sepanjang era Macron, memicu risiko gelombang protes jalanan. Seruan “blokade total” pada 10 September lewat media sosial bahkan sudah mendapat dukungan dari sejumlah kelompok politik.
“Kalau jalan yang kita pilih adalah berpura-pura masalah ini tidak ada, maka kita tidak akan bisa lari,” tegas Bayrou. “Kita tidak akan bisa lolos sebagai negara maupun masyarakat, karena kebebasan dan kedaulatan kita sedang dipertaruhkan.”
(bbn)





























