“Kami ingin mengambil setiap langkah untuk memudahkan wisatawan asing selama tinggal di Thailand. Program baru ini menambahkan inovasi untuk menggantikan penggunaan uang tunai dan kartu kredit,” kata Pichai.
Langkah ini ditempuh di tengah upaya Thailand menggenjot kedatangan wisatawan dari Timur Tengah dan Asia Tenggara, setelah jumlah turis dari China turun 33% pada paruh pertama tahun ini akibat kekhawatiran keamanan, termasuk kasus penculikan aktor China Wang Xing di perbatasan Thailand-Myanmar.
Hingga 10 Agustus, jumlah wisatawan asing mencapai 20,2 juta atau turun 6,9% dibanding periode sama tahun lalu.
Indonesia Bisa Ikut Belajar
Menanggapi inisiatif Thailand, praktisi hukum Frank Hutapea menilai Indonesia sebaiknya juga mengeksplorasi kebijakan serupa di sektor pariwisata dan pembayaran.
Menurutnya, jika di industri pusat data Indonesia bisa meniru langkah Malaysia dan Thailand dalam menggaet investor, maka di industri pariwisata Indonesia juga bisa mengambil inspirasi dari inovasi Thailand.
“Selama yang dipakai adalah pedagang kripto terdaftar di Indonesia atau secara prinsip dilakukan melalui sandbox untuk konversi kripto ke rupiah melalui entitas berizin, ini bisa dieksplorasi,” ujar Frank.
Ia menambahkan, secara regulasi juga diperlukan keberanian DPR untuk melakukan perubahan atas UU Mata Uang 2011, yang saat ini menetapkan rupiah sebagai satu-satunya alat tukar sah.
“Crypto sudah bukan lagi komoditas, melainkan telah masuk sebagai aset digital di UU P2SK. Karena itu secara prinsip, ruang pengaturan bisa dibuka,” tegasnya.
Dengan sumbangan pariwisata mencapai sekitar 12% PDB, Indonesia disebut Frank perlu lebih progresif menyiapkan regulasi agar tetap kompetitif menarik wisatawan internasional.
(seo)






























