Ahli Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai, pasar justru bisa dirugikan jika perusahaan yang belum siap dipaksakan masuk bursa. Ia mencatat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat menargetkan jumlah emiten mencapai 1.100 dalam lima tahun.
“Kalau tujuannya 1.100 emiten di akhir periode OJK saat ini, jangan sampai yang masuk itu justru perusahaan kecil dengan likuiditas rendah. Apalagi yang tidak masuk radar institusi,” kata Budi, beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan, banyak saham menengah dan kecil yang melantai tanpa dukungan investor besar sehingga hanya diperdagangkan investor ritel dengan daya beli terbatas.
Kondisi ini membuat harga saham rawan stagnan atau merugikan investor, apalagi jika tidak ada sponsor atau pemegang saham pengendali yang berkomitmen menjaga harga.
“Kalau tidak didukung pihak yang kuat, saham-saham kecil bisa cepat naik tapi juga cepat jatuh. Jangan sampai hanya kelihatan bagus di awal, lalu nyangkut dan disuspend,” tegasnya.
Praktisi investasi Dipo Satria Ramli juga menilai sistem papan akselerasi dan pengembangan di Indonesia belum ideal untuk perusahaan menengah. Menurutnya, biaya dan kompleksitas regulasi menjadi hambatan utama.
“Di AIM London, ada nominated advisor yang menilai kelayakan perusahaan. Di kita, semua diurus bursa atau OJK yang belum tentu paham setiap jenis bisnis,” kata Dipo.
Ia menekankan, perusahaan menengah memerlukan regulasi khusus yang adaptif terhadap karakter industri, bukan pelonggaran aturan secara gegabah.
Budi menutup dengan peringatan bahwa kemudahan masuk bursa seharusnya diberikan kepada perusahaan yang memang layak, bukan 'dikarbit' agar terlihat matang.
“Jangan sampai pasar modal kita penuh dengan perusahaan yang belum siap, tapi dipaksa masuk hanya demi memenuhi target angka,” ujarnya.
(lav)































