Di Asia, menguatnya ekspektasi penurunan Fed fund rate juga menjadi sentimen positif bagi pergerakan valuta regional pada Senin pagi ini. Mayoritas mata uang Asia menguat terutama ringgit. Hanya yen dan dolar Hong Kong yang masih di zona merah dengan pelemahan terbatas.
Hanya, sentimen positif global tersebut mungkin tak serta merta memberi dukungan pada rupiah di pasar spot bila melihat gelagat pelemahan mata uang Indonesia di pasar NonDeliverable Forward (NDF) offshore.
Pada Jumat pekan lalu, rupiah NDF ditutup menguat 0,69% di bursa New York. Namun, membuka pekan ini, rupiah NDF offshore kembali melemah tajam hingga 0,82% menyentuh level Rp16.525/US$. Level tersebut menjadi yang terlemah sejak pertengahan Mei lalu.
Perkembangan itu mungkin akan membatasi peluang penguatan rupiah di pasar spot hari ini sehingga volatilitas mata uang kemungkinan akan lebih besar.
Fed dan Trump
Menyusul data tenaga kerja AS, beberapa pengamat pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin, dua kali lipat dari jumlah biasanya.
"September adalah waktu yang tepat untuk penurunan suku bunga—dan mungkin bahkan pemotongan 50 basis poin untuk mengganti waktu yang hilang," kata Jamie Cox dari Harris Financial Group, dilansir dari Bloomberg News.
Sebelumnya, Badan Statistik AS melaporkan anjloknya pertumbuhan lapangan kerja di negeri itu. Data payroll hanya bertambah 73.000 pada Juli setelah dua bulan sebelumnya direvisi turun hampir 260.000. Dalam tiga bulan terakhir, rata-rata pertumbuhan lapangan kerja hanya 35.000.
Pasar uang kini memproyeksikan dua kali pemangkasan suku bunga tahun ini, di mana penurunan pertama diperkirakan terjadi pada September dengan peluang 90%, sebesar 25 basis poin.
Buntut dari data tenaga kerja yang mengejutkan pasar itu, Presiden AS Donald Trump memecat Erika McEntarfer, Kepala Statistik Tenaga Kerja AS atau Bureau of Labor Statistics (BLS) pada Jumat, beberapa jam setelah data pasar tenaga kerja menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja yang lemah.
Langkah Trump, yang mengklaim laporan bulanan terbaru “palsu,” memicu protes dari ekonom dan anggota parlemen.
“Saya tidak tahu ada dasar sama sekali untuk pemecatan ini,” kata Beach, yang digantikan oleh McEntarfer pada Januari 2024. “Dan ini benar-benar merusak sistem statistik. Ini merusak kredibilitas BLS.”
Trump juga menggemakan lagi kecamannya pada Gubernur The Fed Jerome Powell. Trump mengatakan Powell seharusnya mengikuti langkah Gubernur The Fed Adriana Kugler yang mundur dari jabatannya di bank sentral AS. Pernyataan ini menandai eskalasi terbaru dalam perseteruan Trump dengan Powell.
“Powell ‘Terlambat’. Dia harus mundur, sama seperti Adriana Kugler, orang yang ditunjuk Biden, yang mundur. Dia tahu Powell salah dalam kebijakan suku bunga. Powell juga harus mundur,” tulis Trump di media sosial, pekan lalu.
The Fed mengumumkan Jumat bahwa Kugler akan mengundurkan diri dari dewan gubernur. Kepergian ini memberi Trump peluang untuk menempatkan pembuat kebijakan yang sejalan dengan desakannya untuk menurunkan suku bunga. Masa jabatan Kugler seharusnya berakhir Januari 2026.
Tekanan dana asing
Kinerja rupiah pada pekan lalu yang memburuk dengan penurunan nilai terdalam sejak April, sebagian besar adalah karena tekanan aliran keluar modal asing, terpicu berbagai sentimen negatif di pasar.
Bank Indonesia melaporkan, berdasarkan data transaksi 28 – 31 Juli 2025, investor nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp16,24 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp2,27 triliun di pasar saham, Rp1,37 triliun di pasar SBN, dan Rp12,60 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Alhasil, selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen hingga 31 Juli 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp58,69 triliun di pasar saham dan Rp77,39 triliun di SRBI, serta beli neto Rp59,07 triliun di pasar SBN.
Data kinerja perdagangan bulan Juni yang dirilis pekan lalu ditafsir beragam oleh pasar. Badan Pusat Statistik melaporkan pada Jumat pekan lalu, nilai surplus perdagangan Indonesia pada Juni tercatat sebesar US$ 4,11 miliar.
Angka itu turun dibanding capaian Mei lalu sebesar US$ 4,3 miliar. Akan tetapi, nilai surplus dagang pada Juni tersebut masih lebih tinggi ketimbang perkiraan pasar yang memprediksi hanya akan sebesar US$ 3,44 miliar.
Ekonom UOB Group Enrico Tanuwidjaja mengatakan, adanya risiko penurunan surplus dari perdagangan barang dan jasa, bisa membawa defisit transaksi berjalan tahun ini makin lebar dari tadinya diprediksi sebesar 1% menjadi 1,5% dari PDB.
Defisit current account diperkirakan makin melebar pada 2026 nanti mencapai 2,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Yang pasti, mengecilnya nilai surplus dinilai memberikan ancaman pada rupiah ke depan.
"Preseden historis menunjukkan bahwa rupiah biasanya terdepresiasi selama pelebaran transaksi berjalan. Hal itu bisa mempersulit peluang pelonggaran suku bunga BI rate pada 2025. BI rate kemungkinan baru akan lanjut turun pada kuartal 1-2026," kata Enrico dalam catatannya, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Capaian surplus perdagangan Indonesia pada bulan Juni yang melampaui ekspektasi pasar, memang angkanya mengecil dibanding bulan sebelumnya. Akan tetapi, menurut pandangan analis Mega Capital Sekuritas, belum terlalu mengkhawatirkan.
Menurut analis Mega Capital di antaranya Lionel Priyadi, Muhammad Haikal dan Nanda Rahmawati, nilai surplus dagang yang lebih rendah itu akan membawa defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2025 menjadi lebih lebar di kisaran US$ 2,8 miliar sampai US$ 2,9 miliar atau setara defisit 0,8% dari PDB.
Akan tetapi, walau defisit potensial melebar, dalam hitungan 12 bulanan (trailing twelve-month/TTM), defisit transaksi berjalan diperkirakan stabil pada kuartal kedua lalu di kisaran minus 0,4%-0,45% dari PDB.
"Hal itu bagus untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah di kisaran Rp16.100-Rp16.500/US$," kata analis.
(rui)

































