“Perlu dicatat bahwa skema PPh final masih memiliki kelemahan, karena tetap dikenakan meskipun investor mengalami kerugian. Berbeda dengan capital gains tax yang hanya berlaku saat investor mendapatkan keuntungan. Ini menjadi salah satu catatan penting dari kami agar ke depan kebijakan pajak bisa lebih mencerminkan asas keadilan dan ekonomi digital yang dinamis,” jelas Kizana.
Ia menambahkan bahwa perlunya penguatan dari aspek pengawasan dan implementasi atas pajak transaksi aset kripto di Indonesia oleh platform atau bursa sejenis luar negeri.
“Langkah ini penting untuk menciptakan level playing field yang adil antara platform lokal dan asing, sekaligus menjaga potensi penerimaan pajak negara,” terang Kizana.
“Kami berharap kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adaptif ini dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekosistem kripto yang sehat di Indonesia. Di sisi lain, kami mendorong agar pemerintah mempertimbangkan pemberian insentif fiskal bagi pelaku industri kripto nasional guna mendukung inovasi, penciptaan lapangan kerja, dan kontribusi terhadap inklusi keuangan digital di Indonesia.”
Dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa aset kripto kini setara dengan surat berharga sehingga “tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai,” tulis Pasal 2 ayat (1) dalam peraturan tersebut.
Beleid yang sama mengecualikan jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), maupun jasa kena pajak berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto. Mereka tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yakni PMK Nomor 131/2024 yang telah berlaku sejak awa tahun.
(prc/wep)


































