Ketegangan terbaru mulai meningkat sejak 28 Mei, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak di wilayah sengketa lain, Chong Bok. Akibat insiden tersebut, Thailand mengalami krisis politik.
Apa penyebab gejolak terbaru?
Setelah bentrokan pada Mei, yang mana saling menyalahkan sebagai penyulut, kedua negara mengerahkan pasukan di sepanjang sebagian besar perbatasan bersama mereka dan membatasi penyeberangan darat yang berfungsi sebagai rute perdagangan vital. Pembalasan dengan membatasi pergerakan di perbatasan menjadi pemicu pertempuran yang meletus kemarin (24/7/2025).
Pemicunya, seorang tentara Thailand menginjak ranjau darat dan kehilangan satu kakinya pada 23 Juli saat berpatroli rutin di dekat Chong An Ma. Empat tentara lainnya menderita luka-luka. Insiden ini menyusul peristiwa serupa pada pekan sebelumnya di dekat Chong Bok.
Thailand menuding ranjau anti-personel itu dipasang Kamboja baru-baru ini dan mengeluarkan kecaman keras. Kamboja membantah ranjau tersebut baru dan menuduh prajurit Thailand melewati rute patroli mereka dan memasuki wilayah Kamboja.
Pertempuran dimulai pada Kamis (24/7/2025) pagi di dekat kuil Prasat Ta Muen Thom, di mana kedua pihak kembali saling menuduh lebih dulu menyerang.
Bagaimana respons kedua negara?
Thailand menurunkan hubungan diplomatik, menarik duta besarnya dan mengusir utusan utama Kamboja. Sebagai balasan, Kamboja juga menarik sebagian besar diplomatnya dan meminta Thailand melakukan hal yang sama.
Pemerintah Thailand menyatakan siap "mengintensifkan" langkah-langkah pertahanan diri jika Kamboja melanjutkan serangannya. Mereka juga memberi arahan pada atase militer dan diplomat asing yang bertugas di Bangkok, serta meminta tindakan berdasarkan Konvensi Pelarangan Ranjau Anti-Personel PBB. Perjanjian ini melibatkan baik Thailand maupun Kamboja.
Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan darurat untuk menghentikan "agresi yang sangat serius" Thailand.
Bagaimana perbandingan militer Kamboja dan Thailand?
Menurut lembaga think tank International Institute for Strategic Studies (IISS), Thailand memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar dengan 360.000 personel aktif di angkatan bersenjatanya, dibandingkan dengan sekitar 124.000 personel di Kamboja.
Panglima militer Thailand, yang beberapa kali merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil negara tersebut, menghabiskan anggaran empat hingga lima kali lebih besar setiap tahunnya untuk angkatan bersenjatanya dibandingkan Kamboja.
Mereka telah membangun salah satu angkatan bersenjata paling mumpuni di kawasan itu dan membeli sebagian besar peralatannya dari AS dan Eropa. Di sisi lain, Kamboja mendapatkan hampir seluruh persenjataannya dari China, yang sebagian besar berbasis teknologi lama.
Dalam pertempuran udara, Thailand memiliki keunggulan yang jelas. IISS menyebut mereka memiliki dua skuadron jet tempur F-16 Lockheed Martin Corp modern dan satu skuadron Saab Gripen C/D.
Kamboja tak memiliki pesawat tempur dalam inventarisnya. Sistem rudal darat-ke-udara KS-1C buatan China merupakan komponen utama pertahanan udaranya. Sistem ini tidak secanggih senjata Barat dalam hal teknologi pelacakan radar dan memiliki jangkauan sekitar 70 km.
Dalam perang darat, IISS mengatakan Thailand akan unggul dengan jumlah tank sekitar dua kali lipat dan jumlah artileri lebih dari lima kali lipat.
Bagaimana asal-usul sengketa perbatasan?
Sengketa ini bermula dari era kolonial dan peta-peta yang dibuat berdasarkan perjanjian Prancis-Siam pada awal 1900-an yang menetapkan batas antara Thailand dan Kamboja, yang saat itu merupakan bagian dari Indochina Prancis. Perjanjian pada 1904 menyatakan batas wilayah akan mengikuti garis batas air antara kedua negara.
Kedaulatan beberapa wilayah masih menjadi perdebatan hingga beberapa dekade kemudian, dan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini terus gagal. Salah satu titik panas selama bertahun-tahun adalah Kuil Preah Vihear yang dibangun pada abad ke-11, yang diklaim Kamboja berdasarkan peta tahun 1907 yang dibuat Prancis. Namun, Thailand menegaskan kuil tersebut masuk wilayahnya.
Kamboja membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional (ICJ), yang pada 1962 memutuskan kuil tersebut milik Kamboja. Namun, Preah Vihear tetap menjadi penyebab pertempuran sporadis sejak 2008, saat Kamboja mengajukan permohonan untuk memperoleh status warisan dunia untuk kuil tersebut dari UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan, sains, dan budaya.
Situs tersebut menjadi pusat bentrokan mematikan besar terakhir antara kedua negara pada 2011 terkait kepemilikan wilayah sekitar kuil. Pada 2013, ICJ memutuskan Kamboja memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut.
Setelah pertikaian pada Mei tahun ini, Kamboja mengajukan permohonan ke ICJ untuk membantu menyelesaikan empat wilayah sengketa, termasuk Prasat Ta Muen Thom dan Chong Bok.
Namun, Thailand belum mengakui yurisdiksi ICJ sejak putusannya pada tahun 1960-an dan bersikeras menggunakan mekanisme penyelesaian bilateral, seperti Komisi Perbatasan Bersama yang dibentuk kedua negara pada tahun 2000.
Bagaimana konflik ini memengaruhi krisis politik Thailand?
Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra diskors oleh Mahkamah Konstitusi pada Juli lalu. Penyelidikan terkait tuduhan pelanggaran etik atas penanganan Paetongtarn terhadap masalah perbatasan masih berlangsung.
Dalam percakapan telepon yang bocor dan kontroversial pada Juni dengan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen—yang memerintah negara itu selama beberapa dekade sebelum menyerahkan kekuasaan kepada putranya—Paetongtarn menyalahkan tentara Thailand atas ketegangan perbatasan yang memanas.
Paetongtarn lalu minta maaf, tetapi skandal tersebut memicu protes di Thailand dan tuntutan agar dia mundur. Sekelompok senator mengajukan petisi kepada pengadilan untuk menentukan apakah ia melanggar standar etik.
Jika terbukti bersalah, Paetongtarn akan didiskualifikasi dari jabatan tertinggi lantaran konstitusi Thailand melarang pengangkatan seseorang dalam kabinet yang perilakunya termasuk "pelanggaran serius atau gagal mematuhi standar etik."
Sementara itu, pemerintah sedang di ambang kehancuran setelah partai terbesar kedua dalam koalisi Paetongtarn mundur akibat skandal panggilan telepon tersebut, sehingga persekutuan tersebut hanya memiliki suara minoritas di parlemen.
(bbn)































