Pada pertengahan Juni, Djoko memang dijadwalkan bertemu dengan Direktur Jenderal Zarubezhneft Asia Limited Alexander Mikhaylov di Saint Petersburg, Rusia.
Rencana pertemuan itu diadakan di sela kunjungan luar negeri Presiden Prabowo Subianto bersama dengan rombongan ke Rusia pada 18 Juni sampai dengan 20 Juni 2025.
Pertemuan itu di antaranya membahas kelanjutan proyek Blok Tuna, lepas pantai Natuna utara. Proyek itu sebelumnya dikerjakan kongsi Zarubezhneft lewat anak usahanya Zarubezhneft Asia Limited bersama dengan entitas Harbour Energy di Indonesia, Premier Oil Tuna B.V.
Dalam kesempatan berbeda, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan Rusia bersedia ikut serta dalam proyek hulu migas baru di lepas pantai (offshore) Indonesia.
Selain itu, Putin juga mengatakan bahwa Rusia bersedia untuk melakukan modernisasi terhadap infrastruktur untuk mendongkrak produksi minyak dari ladang tua.
Hal tersebut disampaikan Putin usai menerima Presiden Prabowo Subianto di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Kamis (19/6/2025) waktu setempat.
"Kami bersedia untuk ikut serta dalam proyek baru di lepas pantai Indonesia dan juga melakukan modernisasi infrastruktur supaya mendongkrak minyak dari ladang tua," ujar Putin dalam keterangannya.
Blok Tuna diestimasikan memiliki potensi gas di kisaran 100—150 million standard cubic feet per day (MMSCFD), menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Adapun, investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
SKK Migas sempat mengatakan target produksi atau onstream dari Blok Tuna berpotensi mundur dari 2026 ke 2027, menyusul ketidakpastian investasi Zarubezhneft di proyek tersebut.
Kesulitan FID
Di sisi lain, Harbour sendiri sudah memutuskan untuk mengundur keputusan investasi akhir Blok Tuna hingga 2025. Rencana pengembangan atau plan of development (PoD) padahal sudah diteken sejak Desember 2022.
Lewat keterbukaan informasi pada Agustus 2023, Harbour tidak menampik jika pengunduran rencana investasi itu merupakan imbas sanksi Uni Eropa (UE) dan Inggris terhadap afiliasi bisnis Rusia, buntut invasi Rusia ke Ukraina.
Belakangan sanksi itu juga berdampak pada mitra mereka di Blok Tuna, Zarubezhneft.
"Di tempat lain di Indonesia, kami berupaya untuk mengembangkan rencana pengembangan lapangan yang telah disetujui untuk penemuan Tuna kami yang terkena dampak sanksi UE dan Inggris," ujar Chief Executive Officer (CEO) Harbour Energy, Linda Zarda Cook.
"Kami terus melakukan diskusi konstruktif dengan Pemerintah Rusia sebagai mitra kami, dan Pemerintah Indonesia untuk mencapai solusi, tetapi tidak mengantisipasi untuk dapat memulai FID hingga tahun depan [2024], yang berarti potensi keputusan investasi akhir akan diambil pada 2025," kata dia.
(mfd/wdh)
































