Logo Bloomberg Technoz

Pemerintah sebelumnya sudah memiliki aturan terkait Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% untuk UMKM, yakni merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Dalam beleid disebutkan, wajib pajak yang dikenai PPh final merupakan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma atau perseroan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Dalam hal ini, jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final yaitu paling lama 7 tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi, 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau firma dan 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPh sebesar 0,5% pada UMKM sampai 2025. Sejatinya, insentif ini akan berakhir pada tahun ini. Namun, hingga saat ini pemerintah belum menerbitkan landasan hukumnya.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan pemerintah sudah menerapkan PPh final 0,5% atas omzet pelaku UMKM.

"Mekanismenya dilakukan melalui dua cara, yaitu PPh final disetor sendiri oleh pelaku UMKM jika pembelinya orang pribadi dan bukan merupakan pemotong PPh, atau PPh final dipotong oleh pembeli yang melakukan pembayaran sepanjang pembelinya adalah wajib pajak badan," ujar Prianto kepada Bloomberg Technoz, dikutip Kamis (26/5/2025).

Konsep yang Serupa

Di sisi lain, pada 31 Desember 2018, pemerintah sebelumnya juga pernah menerbitkan peraturan dengan konsep yang serupa. Kebijakan itu sebagaimana termaktub melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).

Menyitir situs resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, ketentuan yang seharusnya berlaku mulai 1 April 2019 itu mengatur penyedia jasa e-commerce untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.

"[Penyedia platform marketplace juga wajib] memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform," ujar Hestu Yoga Saksama, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Jumat (11/1/2019).

Untuk diketahui, yang dimaksud dengan penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik di mana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli. Saat itu, Hestu mengatakan penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia.

Namun, pemerintah kemudian resmi mencabut aturan itu pada 29 Maret 2019 atau 3 hari sebelum beleid itu resmi berlaku. Pencabutan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/0.10/2018 tetang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).

(lav)

No more pages