Salah satu indikator kunci yang disorot adalah proyeksi Return on Equity (ROE) TLKM pada tahun fiskal 2026 yang diperkirakan mencapai 17%. Ini merupakan angka yang relatif tinggi di antara para pelaku industri, mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari modal yang dimiliki.
ROE merupakan indikator seberapa besar potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi yang dilakukan.
Kinerja ini ditopang oleh strategi diversifikasi bisnis TLKM, termasuk ekspansi di sektor digital, data center, dan integrasi layanan fixed-mobile convergence (FMC) melalui entitas anaknya, Telkomsel dan IndiHome.
Meskipun tekanan terhadap pendapatan jangka pendek masih membayangi akibat belum meratanya implementasi harga starter pack baru di saluran distribusi fisik, namun risiko tersebut dinilai telah tercermin dalam valuasi saham saat ini.
“Valuasi sektor saat ini berada di 4,0x EV/EBITDA, atau dua standar deviasi di bawah rata-rata lima tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar kekhawatiran pasar sudah terdiskon dalam harga,” tulis laporan tersebut.
Distribusi Kuat
Hasil pengecekan lapangan oleh tim analis BRI Danareksa menunjukkan bahwa penerapan harga starter pack baru sebesar Rp35.000 masih belum merata.
Operator seperti IM3, XL, dan Smartfren diketahui masih menjual stok lama dengan harga lebih rendah di berbagai outlet di wilayah Jakarta Selatan dan Depok. Hanya Simpati, brand milik Telkomsel, yang terpantau sudah konsisten menerapkan harga baru di sebagian besar toko.
Kondisi ini berpotensi menekan pendapatan operator di kuartal II-2025, terutama jika penyesuaian harga berlangsung lebih lambat dari estimasi.
Meski demikian, analis melihat bahwa TLKM berada dalam posisi relatif lebih siap, baik dari sisi inventory management maupun struktur distribusi.
Kuartal II biasanya identik dengan peningkatan trafik data berkat momentum Lebaran. Namun pada tahun ini, karena libur Idulfitri hanya sebagian jatuh di awal kuartal, trafik hanya mengalami peningkatan moderat. TLKM menjadi satu-satunya operator yang disebut dapat memaksimalkan lonjakan trafik musim liburan di kuartal ini.
Analis juga menyoroti bahwa daya beli masyarakat masih menjadi faktor pembatas utama, membuat harga paket data tetap stagnan sepanjang April–Juni 2025. Kondisi ini menambah tekanan pada margin operator, khususnya mereka yang lebih sensitif terhadap fluktuasi volume dan harga paket.
Namun, TLKM dinilai tetap lebih tangguh, berkat diversifikasi pendapatan dan skala operasional yang lebih besar dibandingkan pesaing. Lini bisnis korporat dan B2B digital termasuk layanan cloud, data center, dan solusi enterprise turut menopang stabilitas margin.
Konsolidasi industri yang tengah berlangsung, seperti merger XL Axiata dan Smartfren, turut membuka peluang bagi TLKM dalam jangka menengah.
Selain menjaga pangsa pasar, konsolidasi kompetitor juga bisa membantu menstabilkan struktur tarif industri, sekaligus membuka ruang efisiensi bagi semua pemain.
Dengan proyeksi ROE tinggi, margin EBITDA yang stabil, valuasi yang menarik, dan eksposur luas di sektor digital dan infrastruktur, TLKM tetap menjadi salah satu saham paling solid di sektor telekomunikasi saat ini.
Di tengah ketidakpastian jangka pendek, Telkom justru menunjukkan kapasitas sebagai emiten defensif yang layak diperhitungkan untuk investasi jangka menengah dan panjang.
(dhf)