Logo Bloomberg Technoz

Diketahui, ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan siapa yang akan menjadi pemimpin penerusnya kian terang tatkala mengakui akan cawe-cawe politik. Alasannya adalah demi bangsa dan negara. Jokowi menambahkan, cawe-cawe politik dia lakukan asalkan tak melanggar aturan. Ucapan itu disampaikan Presiden tatkala dia bertemu dengan para pemimpin redaksi dan para kreator konten pada Senin malam (29/5/2023) di Istana Negara, Jakarta. 

"Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif," kata Jokowi.

Ihwal cawe-cawe yang dimaksud diakui terkait dengan konteks pemilu karena ingin memastikan setelah tak memimpin, Indonesia tetap pada jalurnya menuju negara maju dalam 13 tahun ke depan. Maksud ucapan Jokowi kemudian dijelaskan melalui klarifikasi oleh Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Setpres Bey Machmudin. Kata dia, Presiden Jokowi ingin agar pemimpin nasional melanjutkan kebijakan strategis. 

Diketahui saat ini ada sejumlah kebijakan Jokowi yang dianggap strategis itu antara lain hilirisasi industri, transisi energi bersih dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). 

Sikap dan ungkapan Presiden Jokowi yang khawatir pemilu akan memilih calon yang tak sesuai harapan melangkahi etika dan moral demokrasi. Sebagaimana posisi ASN harus netral diatur dalam UU Pemilu maka demikian harusnya sikap seorang presiden. 

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman mengkritik sikap Jokowi yang mengabaikan netralitas itu. Dia mengingatkan, hal ini akan menjadi preseden buruk. Hanya dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, siapa pun termasuk pejabat-pejabat Jokowi bisa menirunya.

"Kepala negara menurut kami sih harus netral ya, tidak boleh cawe-cawe. Kalau kepala negara mau cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara ke depan, alasan yang sama bisa juga digunakan oleh kapolri, oleh ketua MA, oleh ketua MK, oleh jaksa agung, KPK, oleh BIN," kata Benny saat ditemui di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Benny melanjutkan, kepala negara harus menjaga iklim demokrasi, menjaga iklim persaingan sehat dalam politik sebab dia adalah kepala negara. Kepentingan negara lebih besar dibandingkan sekadar kepentingan partai.

Jokowi mengecek jalan rusak parah di Labuhan Batu, Sumatera Utara (Twitter @jokowi)

Kekhawatiran Jokowi itu pula jelas bertolak belakang dengan survei-survei yang terus menunjukkan kepercayaan publik terhadapnya masih tinggi. Ambil contoh dua survei terakhir yang dirilis lembaga survei berbeda. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023 merilis tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi hingga 82%. Sementara lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis temuan baru pada pekan lalu bahwa kepuasan di kalangan pemilih kritis pada kinerja Presiden Jokowi mencapai 79,7%.

Dalam logika dan kondisi demikian seharusnya Presiden Jokowi tak perlu vulgar menunjukkan ikut campur dalam pemilu. Artinya, calon yang tampak dekat dengan Jokowi tentunya otomatis ditangkap publik. Jika rakyat melihat figur "Jokowi" ada di dalamnya maka akan dipilih. 

Alih-alih elegan dalam politik dan menjunjung netralitas dalam demokrasi, Jokowi memilih cawe-cawe. Alasan kepentingan negara dan bangsa seakan hanya dipahami penguasa sekaligus mengaburkan pemahaman pentingnya seorang pemimpin mengambil jarak demi menjaga netralitas Pemilu 2024. 

Padahal kepentingan negara, rakyat dan bangsa tak boleh diartikan dalam tafsir tunggal seorang presiden. 

Cara-cara Jokowi yang ingin mengendalikan banyak hal secara konsep lalu tak jauh berbeda secara filosofis dengan era Demokrasi Terpimpin pada masa lalu. Hampir serupa walau tak persis sama, ada kondisi yang mirip di dalamnya. Demokrasi Terpimpin di Indonesia pernah terjadi pada 1959-1966.

Demokrasi Terpimpin adalah sistem demokrasi pemerintahan yang menempatkan segala kebijakan atau keputusan berpusat pada pemimpin negara. Dalam kondisi ini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan efektivitas kinerja yang berkelanjutan. Kondisi ini membuat ruang kebebasan bagi masyarakat menjadi kian sempit.

"Kalau dalam pandangan saya, yang pasti ini adalah upaya untuk kemudian mengkonsolidasikan tafsir tunggal terhadap apa yang disebut sebagai kemaslahatan publik," kata pengamat politik Nanang Indra Kurniawan saat dihubungi.

"Saya tidak menyebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin seperti yang ada pada masa yang lalu. Tapi setidaknya ini adalah bagian dari upaya untuk memastikan bahwa tafsir tentang apa yang terbaik untuk negara dan bangsa itu bergerak pada segelintir orang. Nah ini yang menurut saya harus diubah dan didorong untuk diperdebatkan," lanjut dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Dia mengatakan, secara prinsip bisa dipahami bahwa cawe-cawe politik bisa terjadi mengingat presiden adalah juga jabatan politik. Namun hal tersebut harus diletakkan pula dalam kerangka etika dan moral yang memadai. Tafsir kepentingan bangsa dan negara tak boleh hanya milik presiden. Publik yang menguji apakah kepentingan bangsa yang disebut Presiden Jokowi adalah yang rakyat inginkan.

"Kalau hanya presiden yang mendefinisikan tentang apa yang disebut sebagai kepentingan negara maka itu berpotensi menghasilkan masalah baru dalam proses demokrasi kita," kata Nanang lagi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka KTT Asean 42 di Meruorah Hotel Labuan Bajo. (Photo credit: ASEAN2023 Host Photographer)

Sementara pengamat Komunikasi Politik Eka Wenats Wuryanta menyorot gaya komunikasi Jokowi yang tidak dewasa.

"Kan cawe-cawe itu istilahnya campur tangan, ingin ngikutin 'urusanku' gitu ya. Di satu pihak sebetulnya ini menunjukkan bahwa kualitas komunikasi politik Indonesia itu belum dewasa. Artinya apa? Terlalu banyak simbol dan tidak dijelaskan secara eksplisit atau terus terang," kata Eka yang juga dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu saat berbicara lewat sambungan telepon.

Dia mengatakan, menuju kontestasi politik seharusnya cara-cara komunikasi yang terlalu ikut campur bahkan yang ambigu harus dikurangi karena tidak perlu. Harus dibangun konteks politik yang rasional dan tidak abu-abu. Soal arah Demokrasi Terpimpin itu, Eka menilai maka memang bisa muncul tudingan semacam tersebut. 

Padahal menurut dia kekhawatiran Jokowi untuk memastikan kesinambungan pembangunan seharusnya tak perlu. Kalau pun harus cawe-cawe menurut alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, tak perlu terlampau digamblangkan.

"Untuk sebagai sebuah kepentingan negara ya setiap Presiden pasti akan cawe-cawe. Tapi masalahnya kadang cawe-cawe itu kan tidak harus diomongin dan tidak dieksplisitkan menjadi sebuah kualitas ketidaknegarawanan dari seorang Jokowi atau seorang presiden yang lain, di situ saya sesalkan," kata Eka.

Oposisi harus Bermutu

Dalam kondisi penguasa yang bersyahwat ikut campur pemilu maka ada hal-hal yang perlu dipertahankan untuk menyeimbangkan opini. Publik yang kritis perlu menguji dan memberikan pandangan alternatif tentang kepentingan bangsa, negara dan rakyat tersebut. Tak hanya pihak yang berada di luar politik, publik politik dalam hal ini oposisi juga harus menunjukkan kualitas memberikan masukan kritis.

Pihak-pihak yang bisa andil yakni media massa sebagai penyuara kepentingan politik, masyarakat sipil dan oposisi. Dengan demikian kepentingan negara dan bangsa itu tak dimonopoli oleh elite.

"Harus bersuara kritis untuk memberikan narasi yang berbeda terhadap apa yang disampaikan oleh presiden. Bukan berarti tidak menyetujui tapi menampilkan alternatif-alternatif cara berpikir serta melihat persoalan secara lebih luas termasuk dalam mendefinisikan tentang apa yang dimaksud kepentingan bangsa dan negara," kata Nanang.

Sementara posisi oposisi yang tak menyampaikan kritik dengan berisi juga menjadi perhatian. Apabila Jokowi dikritik karena terlalu cawe-cawe maka hal tersebut harus diutarakan oposisi dengan substansi yang bermutu. Apabila oposisi mengusung calon di pemilu maka harus bisa juga menunjukkan visi dan strategi yang memang benar-benar demi kepentingan rakyat. Jadi bukan sekadar meninabobokan rakyat dengan janji-janji manis politik seperti yang terjadi sebelumnya. Jika demikian maka kondisi politik Indonesia dari waktu ke waktu tak berubah, tetap tak dewasa.

Oposisi juga harus bisa menjelaskan soal perlu tidaknya dilanjutkan program pemerintah saat ini namun dengan data yang tajam.

"Yang muncul dalam kondisi sekarang adalah bahwa investor atau pelaku-pelaku yang lain belum mendapatkan kepastian misalnya atau tidak mempunyai keyakinan bahwa apa yang baik di era Jokowi itu 90-100% diteruskan. Tetapi yang buruk ada, nah itu kan tidak dijelaskan oleh oposisi," tutup Eka.

(ezr)

No more pages