“Untuk ke investasi hulu migas jelas ada dampaknya, karena ini kan menambah ketidakpastian. Tekanan-tekanan ini memungkinkan terjadinya krisis ekonomi, inflasi, dan kenaikan harga energi global,” kata Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal.
Dia menjelaskan risiko tekanan ekonomi global akibat harga energi yang naik pada akhirnya akan memengaruhi selera investasi di sektor hulu migas.
“Inventor selalu reaksinya adalah menunda investasi-investasi yang cukup berisiko di area-area yang misalnya emerging market seperti Indonesia. Itu karena risikonya lebih tinggi. Nah, itu biasanya mereka tidak prioritaskan atau tunda dahulu,” tuturnya.
Moshe memperingatkan risiko tersebut akan diperparah jika kondisi nilai tukar rupiah turut melemah dan ketahanan fiskal tidak terlalu kuat atau robust. Kinerja rupiah juga akan menjadi acuan investor dalam menanamkan modal.
“Nah, itu yang berdampak ke industri kita. Jelas. Termasuk juga investasi di hulu, biaya operasional meningkat, dan tidak cuma impor; biaya energi juga makin meningkat karena kita net importer migas,” sebut Moshe.
Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2024, realisasi investasi hulu migas pada tahun lalu mencapai US$15,33 miliar, naik 18% dari capaian sebelumnya senilai US$12,92 miliar.
Harga Minyak
Hari ini, harga minyak mulai turun setelah sepekan perdagangan yang bergejolak karena pasar berfokus pada apakah Presiden Donald Trump akan menyeret Amerika Serikat (AS) ke dalam konflik antara Israel dan Iran.
Brent merosot ke US$76/barel setelah ditutup sedikit lebih tinggi pada Rabu, sementara West Texas Intermediate (WTI) mendekati $75/barel.
Harga telah berfluktuasi dalam kisaran sekitar US$8 pekan ini, dengan volatilitas yang melonjak, opsi menjadi lebih bullish, dan spread utama melebar secara signifikan dalam backwardation.
Kekhawatiran terbesar bagi pasar minyak berpusat pada Selat Hormuz, tetapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda bahwa Teheran berusaha mengganggu pengiriman melalui jalur air sempit di pintu masuk Teluk Persia. Sekitar seperlima dari produksi minyak mentah dunia melewati selat tersebut.
"Kami tidak melihatnya sebagai skenario yang mungkin saat ini, tetapi mengingat keadaan genting yang dialami rezim Iran saat ini, saya pikir semua orang harus memperhatikan Selat Hormuz," kata Mike Sommers, Presiden American Petroleum Institute, dalam sebuah wawancara televisi Bloomberg.
Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan premi risiko geopolitik sekitar US$10/barel untuk Brent karena konflik tersebut, menurut catatan dari analis termasuk Daan Struyven.
Namun, raksasa Wall Street itu mengatakan skenario kasus dasarnya adalah minyak jatuh ke US$60/barel pada kuartal IV-2025, dengan asumsi tidak ada gangguan pasokan.
“Situasi geopolitik masih sangat tegang, tanpa tanda-tanda akan mereda,” kata Gao Jian, analis Qisheng Futures Co. yang berbasis di Shandong. “Pasar secara bertahap beralih ke fase konsolidasi harga tingkat tinggi, menunggu perkembangan lebih lanjut di Timur Tengah.”
Sementara itu, persediaan minyak mentah AS turun 11,5 juta barel pekan lalu, penurunan terbesar dalam hampir setahun. Stok di pusat penyimpanan di Cushing, Oklahoma, juga turun, sementara persediaan bensin meningkat.
Harga hari ini:
- Brent untuk pengiriman Agustus turun 0,3% menjadi US$76,50/barel pada pukul 12:20 siang di Singapura setelah ditutup 0,3% lebih tinggi pada Rabu.
- WTI untuk pengiriman Juli, yang berakhir pada Jumat, sedikit berubah pada US$75,10/barel.
- Kontrak Agustus yang lebih aktif turun 0,1% menjadi US$73,43/barel.
(wdh)
































