Menurut laporan Wall Street Journal pada Senin, yang mengutip sejumlah pejabat Timur Tengah dan Eropa tanpa menyebut identitasnya, Teheran memberi sinyal ingin meredakan konflik dan bersedia melanjutkan pembicaraan nuklir dengan AS, selama Washington tidak ikut serta dalam serangan militer Israel. Laporan serupa dari Reuters menyebut Iran menyampaikan pesan ini melalui Qatar, Arab Saudi, dan Oman.
Pecahnya konflik antara Israel dan Iran sempat mengganggu momentum positif yang mendorong indeks S&P 500 mendekati rekor tertingginya. Di awal, pasar bersikap hati-hati dan menghindari risiko sambil menanti perkembangan konflik. Namun, sentimen mulai membaik pada Senin setelah para investor memperkirakan konflik tidak akan melibatkan pihak-pihak lain dalam waktu dekat.
“Fokus pasar akan tetap tertuju pada perkembangan geopolitik, tetapi selama konflik hanya terbatas antara Israel dan Iran, dampaknya terhadap pasar kemungkinan tidak akan terlalu signifikan,” kata Tom Essaye dari The Sevens Report.
Para investor Asia juga akan memantau pertemuan tingkat tinggi negara-negara G-7 yang berlangsung di Alberta, Kanada, di mana Trump dijadwalkan bertemu Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba pada Senin. Tokyo berharap AS mencabut sepenuhnya tarif impor, termasuk bea 25% terhadap ekspor industri otomotif—sektor yang sangat krusial bagi perekonomian Jepang. Tanpa kesepakatan, ekonomi terbesar keempat dunia itu berisiko masuk ke dalam resesi teknikal.
Sementara itu, sentimen pasar di China cukup positif setelah data menunjukkan lonjakan tak terduga dalam penjualan ritel selama Mei, yang sedikit meredakan tekanan akibat tarif AS. Namun, para analis memperingatkan bahwa tren ini mungkin tidak bertahan lama, mengingat tekanan deflasi masih ada dan krisis di sektor properti terus memburuk.
Meski sentimen pasar global cenderung tenang, kawasan Timur Tengah masih dalam kondisi genting. Israel dikabarkan menyerang ladang gas South Pars, memaksa penghentian sementara produksi di salah satu platform utama. Serangan ini menyusul gempuran terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran pada pekan lalu.
Namun, hingga saat ini, infrastruktur penting untuk ekspor minyak mentah belum menjadi sasaran, dan jalur pengiriman strategis di Selat Hormuz juga masih aman. Sekitar 20% dari total pasokan minyak dunia dikirim melalui selat sempit tersebut. Jika Iran mencoba mengganggu jalur ini, harga minyak diperkirakan akan melonjak. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 1,7% dan menetap di bawah US$72 per barel.
Ketegangan geopolitik ini hanya akan memperumit tugas bank-bank sentral utama dunia dalam menilai dampak risiko terhadap inflasi dan pertumbuhan, terutama yang disebabkan oleh tarif dan gangguan pada rantai perdagangan global.
Di Wall Street, perhatian utama pekan ini akan tertuju pada keputusan suku bunga bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan pada Rabu (18/6/2025). Para pembuat kebijakan diperkirakan akan tetap menahan suku bunga dalam waktu dekat. Investor menanti pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell untuk mencari petunjuk mengenai arah kebijakan selanjutnya.
“Powell mungkin akan menyebut perkembangan inflasi terbaru sebagai hal yang menggembirakan, namun kemungkinan besar akan meremehkan signifikansinya mengingat banyak ketidakpastian—termasuk tarif, kebijakan fiskal, serta lonjakan harga minyak yang dipicu perkembangan geopolitik,” kata David Doyle dari Macquarie Group. “Secara keseluruhan, arah risiko bagi pasar pada 2025 masih condong ke sikap hawkish dari The Fed.”
(bbn)































