Sebaliknya, terdapat polutan berbahaya tambahan yang dilepas, seperti merkuri, karbon monoksida (CO) dan hidrogen sulfida (H2S), serta jejak logam berat seperti arsenik (As) dan timbal (Pb). Hal ini karena perbedaan batas ambang emisi yang ditetapkan untuk batu bara dan biomassa.
Analis CREA Katherine Hasan mengatakan klaim yang tidak tepat seputar pengurangan emisi dari co-firing biomassa di PLTU dan disebut sebagai strategi transisi energi nasional harus diulas menyeluruh dalam diskusi nasional serta menghubungkan upaya iklim dan kualitas udara.
“Upaya peningkatan kualitas udara hanya dapat dimulai ketika kita menyadari urgensi untuk memetakan jalur pensiun semua PLTU di Indonesia. Terlebih lagi, mitigasi emisi di PLTU selama beberapa dekade transisi hanya dapat ditangani dengan standar emisi yang ketat, yang akan memerlukan pemasangan teknologi pengendalian polusi udara di semua PLTU,” kata Katherine dalam siaran pers, Jumat (30/5/2025).
Katherine menyebut klaim bahwa co-firing biomassa di PLTU milik PLN dapat mengurangi emisi dibuat tanpa kuantifikasi komprehensif.
Klaim ini seharusnya tidak hanya mencakup penurunan pemanfaatan batu bara, tetapi juga perlu menghitung emisi siklus hidup rantai pasokan biomassa, yang mencakup pemanenan, pemrosesan, dan transportasi.
Dari aspek ekonomi dengan mengacu laporan CREA, kata dia, harga acuan yang ditetapkan PLN untuk biomassa hanya memungkinkan pengadaan untuk biomassa berbiaya dan berkalori rendah seperti serbuk kayu, kulit padi, dan Refuse Derived Fuel (RDF) hasil pengolahan sampah padat — yang umumnya memiliki energi rendah.
Peneliti CREA Abdul Baits Swastika menambahkan masalah utama co-firing biomassa adalah pemangku kepentingan nasional hanya melihat sebagai solusi mengurangi emisi bahan bakar fosil Indonesia, alih-alih mengatasi akar permasalahan polusi udara atau memprioritaskan percepatan penyebaran sumber energi terbarukan.
“PLN bahkan membingkai co-firing biomassa sebagai strategi mendukung ekonomi kerakyatan dan mengurangi emisi, yang masih diragukan klaimnya karena tidak didukung oleh penilaian yang transparan dan menyeluruh,” ucap Abdul Baits.
Mengacu berbagai temuan ini, CREA mendorong pemerintah untuk memprioritaskan akuntabilitas dan transparansi penggunaan biomassa di PLTU, melalui pemantauan dan evaluasi.
Langkah itu diperlukan untuk mengembangkan peta jalan bioenergi yang memberikan kejelasan bagi para pemasok, sehingga pasar dapat berkembang secara alami untuk memenuhi permintaan.
“Kemudian, untuk membenarkan penggunaan bioenergi sebagai inisiatif berkelanjutan, PLN harus mewajibkan verifikasi independen atas emisi yang dilepaskan di seluruh rantai nilai,” tuturnya.
Di sisi lain, CREA juga mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penghentian PLTU secara bertahap dan mempercepat penggunaan energi terbarukan demi masa depan energi yang berkelanjutan dan adil.
“Kerugian akibat berkurangnya efisiensi dan tantangan operasional PLTU lantaran biomassa berkualitas rendah, sebaiknya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Pembangkit listrik bioenergi sangat cocok untuk mengimbangi basis sumber daya biomassa Indonesia yang kaya dan beragam,” imbuhnya.
Belum Jelas
Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menuturkan sejak co-firing biomassa ditawarkan sebagai solusi beberapa tahun lalu, hingga kini belum ada kejelasan mengenai bagaimana biomassa akan diperoleh secara berkelanjutan dan bagaimana hal tersebut dapat ditingkatkan secara andal, mengingat biaya dan tantangan pasokannya.
“Kritik terhadap penggunaan biomassa semakin meningkat di banyak negara, terutama jika risiko-risiko tersebut tidak dikelola dengan baik. Laporan bahwa Korea Selatan akan menghentikan subsidi biomassa juga merupakan pertanda yang jelas akan melemahnya dukungan secara global,” kata Putra.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan PLN melakukan implementasi co-firing biomassa di 47 PLTU dengan penggunaan sekitar 4 juta ton. Hal ini mampu menurunkan emisi sekitar 4,4 juta ton emisi karbon.
PLN juga telah mengurangi emisi CO2 atau green house gas sebesar 48,4 juta ton CO2, ekuivalen dengan berbagai upaya luar biasa.
"Inilah yang menjadi fondasi bahwa kita membangun pola pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan, menyediakan listrik yang andal tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca," ujar Darmawan dalam rapat bersama Komisi XII DPR, dikutip Rabu (14/5/2025).
Darmawan memerinci pengurangan emisi karbon sebanyak 16,3 juta ton dengan pembangunan 1,3 GW pembangkit EBT, lalu 12 juta ton CO2 diturunkan dengan pengembangan pembangkit berbasis gas.
Kemudian, penambahan pembangkit dari berbasis batu bara ultra supercritical sehingga terdapat penurunan emisi karbon sebesar 13,9 juta ton.
"Ada 4,3 juta ton itu dengan adanya energy efficiency dan hampir 2 juta ton karena adanya menggunakan biomassa melalui co-firing di pembangkit batu bara miliknya PLN," ujarnya.
(mfd/wdh)































