Menurut BPK, kebijakan sewa pembangkit untuk mengatasi potensi defisit dalam neraca daya dapat menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Adapun, manuver sewa pembangkit itu sebelumnya diambil lantaran keterlambatan pengembangan infrastruktur pembangkit yang berdampak pada menurunnya keandalan sistem untuk menyediakan tenaga listrik.
“Untuk memitigasi ketidakandalan sistem tersebut negara mengambil langkah jangka pendek dengan menyewa pembangkit sambil menunggu penyelesaian proyek-proyek yang telah direncanakan pada RUPTL 2021-2030,” tulis BPK.
Di sisi lain, badan audit negara turut memproyeksikan kenaikan belanja subisidi dan kompensasi tahun 2024 sampai dengan 2033 sebesar Rp15,91 triliun.
Sementara, potensi tambahan belanja subsidi dan kompensasi minimal Rp135,84 triliun dari biaya operasional pembangkit sewa.
BPK merekomendasikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menetapkan skema fleksibilitas yang mempertimbangkan success ratio pembangunan infrastruktur tenaga listrik.
“Menyusun kajian untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur sesuai RUPTL,” tulis BPK.
(naw)
































