Logo Bloomberg Technoz

Kedua, pungutan ekspor CPO juga merupakan bagian instrumen Indonesia sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar dunia untuk mengontrol dan mempengaruhi harga minyak sawit dunia.

“Kenaikan  pungutan ekspor sawit, misalnya CPO, yang naik dari 7,5% menjadi 10%, pada saat tren harga minyak sawit dunia yang menurun dalam 3 bulan terakhir, merupakan salah satu cara untuk menstabilkan harga atau membalikkan tren harga minyak sawit dunia yang menurun tersebut,” terang Tungkot.

Stabilisator Harga

Ketiga, dia juga berpendapat pungutan ekspor sawit berperan sebagai instrumen untuk memastikan stabilitas penyediaan minyak goreng dan biodiesel domestik.

Harga minyak goreng untuk masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) kuliner dalam 6 bulan terakhir disebutnya bergerak di rentang Rp18.000—Rp19.000 per liter.

Nominal tersebut jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) Minyakita yang ditetapkan di level Rp15.700/liter.

“Dengan demikian, kebijakan menaikkan pungutan ekspor CPO tampaknya pilihan instrumen yang diambil pemerintah untuk mencegah kenaikan harga minyak goreng rakyat yang sudah di atas HET tersebut,” ujar Tungkot.

Keempat, pungutan ekspor sawit juga menjadi instrumen untuk menghimpun pembiayaan untuk perkebunan sawit rakyat (PSR), infrastruktur kebun rakyat, SDM petani, riset, promosi dan biofuel termasuk insentif/subsidi mandatori biodiesel. 

Dalam kaitan itu, Tungkot menjelaskan selama ini pendanaan mandatori biodiesel B40 hanya ditanggung industri sawit saja melalui dana PE yang terkumpul di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), padahal manfaat mandatori biodiesel tersebut dinikmati semua pihak.

“Sudah saatnya  pembiayaan insentif biodiesel ditanggung bersama baik oleh industri sawit, konsumen energi dan distributor, seperti Pertamina. Pertamina telah lebih 10 tahun menikmati benefit dari mandatori biodiesel, saatnya ikut menanggung pembiayaan insentif mandatori biodiesel,” ujarnya.

Dampak mandatori biodiesel ke ekspor CPO./dok. BMI

Terus Dievaluasi

Saat ini, Kementerian Keuangan masih akan terus melakukan evaluasi terhadap implementasi kenaikan PE CPO dan produk turunannya, di tengah adanya keluhan dari pengusaha.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menggarisbawahi kebijakan untuk menaikkan pungutan ekspor CPO merupakan keputusan Komite Pengarah (Komrah) Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Dalam hal ini, Kemenkeu dan Komrah BPDP sudah membahas bahwa pemerintah tetap akan menerapkan kenaikan tarif ekspor CPO menjadi 10%, tetapi sambil terus dievaluasi.

"Itu kan sudah jadi keputusan Komrah, jadi memang kebijakannya ada di Komrah, dan kemarin sudah dibahas, sehingga nanti kita implementasikan dulu aja, nanti sambil terus kita evaluasi ya," ujar Febrio saat ditemui di Kompleks DPR, Senin (19/5/2025).

Menurut Febrio, pemerintah pada dasarnya melakukan evaluasi dengan melihat perkembangan global dan kebutuhan dari kebijakan untuk penghiliran atau hilirisasi.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan sudah menyampaikan surat keberatan atas kenaikan ekspor CPO kepada Kemenkeu.

Gapki menilai keputusan pemerintah kembali menaikkan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya terkesan terburu-buru.

Hal tersebut lantaran dilakukan di tengah gejolak perang dagang akibat kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), yang juga kemungkinan akan memengaruhi industri negara produsen CPO seperti Indonesia, dan negara lain.

"Jadi, saya kira seharusnya tidak dilakukan sekarang,  tetapi menunggu sampai 2 bulan, atau terjadi kesepakatan perdagangan perundingan tarif ke AS, sehingga respons lebih akurat," ujar Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).

Setala, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) juga mengajukan permohonan keberatan soal keputusan pemerintah yang kembali menaikkan tarif PE CPO.

Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga mengatakan permintaan tersebut dilakukan lantaran industri hilir CPO saat ini juga tengah dihadapi oleh berbagai kendala mengakibatkan ketidakpastian bisnis.

Beberapa kendala tersebut yakni adanya kenaikan harga gas dengan adanya penyesuaian Baseline Alokasi dan harga Gas dari Pertamina Gas Negara (PGN), yang berakibat langsung terhadap biaya produksi yang meningkat.

Kemenkeu sebelumnya resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 30/2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan.

Regulasi itu resmi mengubah PE CPO menjadi 10% dari sebelumnya 7,5%, guna membantu menopang aliran dana ke BPDPKS untuk kebutuhan "subsidi" biodiesel dan peremajaan lahan sawit (replanting).

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi, Dovana Hasiana, dan Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages