"Jadi ini mungkin pesan itu yang perlu kita sering rajin memberikan edukasi ke teman-teman, dan ke masyarakat supaya paham apa sih tujuan utama dari adanya pembatasan maksimum suku bunga tadi," terangnya.
Sebagai catatan, penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui
kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, dalam hal ini AFPI.
Menurut KPPU, mereka menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4% per hari pada tahun 2021.
Senada, sekaligus menjawab temuan KPPU tersebut, mantan Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023, Sunu Widyatmoko mengungkapkan bahwa penurunan bunga harian menjadi 0,4% merupakan hasil dari permintaan langsung OJK. Langkah itu diambil setelah regulator menilai bunga 0,8% masih terlalu dekat dengan tawaran dari pelaku ilegal, yang membuat masyarakat bingung.
Karena belum memiliki dasar hukum yang kuat sebelum UU P2SK terbit, menurut Sunu, OJK meminta AFPI untuk menerapkan kebijakan tersebut melalui mekanisme asosiasi. Keduanya sepakat bahwa pembatasan suku bunga bukan hal ideal bagi pelaku usaha. Namun, langkah ini dianggap penting demi menciptakan pembeda yang jelas antara platform legal dan ilegal, serta melindungi konsumen.
"Ini realita, jadi untuk KPPU saya rasa for the side of the story mungkin juga bisa mendapatkan pertanyaan konfirmasi kepada pejabat OJK saat itu," pungkas Sunu.
(wep)
































