Kedua, siswa harus menganalisis data yang dihasilkan oleh sistem AI (membutuhkan kemampuan numerasi dan interpretasi data).
Ketiga, siswa harus berpikir kritis tentang implikasi etis dan sosial dari penggunaan AI (membutuhkan kemampuan literasi dan pemahaman konteks).
Meskipun potensi AI dalam pendidikan tidak dapat diabaikan, Ubaid mengatakan bahwa mendesaknya integrasi AI ke dalam kurikulum sekolah, terutama sedini SD, saat ini kurang memiliki urgensi dan menghadapi tantangan infrastruktur dan kesiapan tenaga pendidik yang sangat besar.
Sebaiknya kata dia, prioritas utama tetap pada penguatan literasi dan numerasi dasar sebagai fondasi penting bagi pembelajaran di semua bidang.
Termasuk pemahaman konsep yang lebih kompleks seperti AI di masa depan. Implementasi AI dalam kurikulum perlu dilakukan secara bertahap, terencana dengan matang, dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan yang terpenting, kebutuhan dan kemampuan pemahaman siswa di setiap jenjang pendidikan.
“Terburu-buru mengimplementasikan AI tanpa fondasi yang kuat berisiko menciptakan kesenjangan yang lebih besar dan potensi kegagalan yang signifikan,” imbuhnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, pengamat pendidikan Ina Liem juga tak menyetujui perencanaan tersebut.
Ina menilai bahwa para siswa di sekolah siswa sudah terbebani dengan belasan mata pelajaran.
“Kita justru perlu merampingkan, bukan menambah beban kurikulum,” kata Ina kepada Bloomberg Technoz, Kamis (08/05).
“Lagi pula, yang paling penting dalam menghadapi era AI bukan kemampuan teknis semata, tapi kemampuan berpikir kritis, bertanya, dan mengevaluasi informasi secara mandiri. Ini bukan soal coding, ini soal cara berpikir."
Ia pun mempertanyakan apakah kultur sekolah di RI sudah memberi ruang untuk siswa bisa berpikir kritis nantinya dalam menghadapi teknologi tersebut.
Menurut dia, guru masih dominan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, dan siswa yang mempertanyakan dianggap tidak sopan.
“Maka kita sedang membangun pondasi AI di atas sistem feodal. Pendidikan AI bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi transformasi cara belajar. Tanpa perubahan budaya belajar, memasukkan AI hanya akan jadi kosmetik kurikulum,” kata dia.
“Kalau kita serius mau siapkan generasi yang siap dengan AI, mulainya bukan dari silabus, tapi dari pembenahan mindset pengajar, pelatihan guru, dan ruang kelas yang menghidupkan dialog. Bukan soal berapa jam belajar AI, tapi apakah murid diajarkan untuk tidak menerima segalanya secara mentah,” tambanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menunjukkan komitmen yang kuat agar kecerdasan buatan atau (AI) bisa berkembang di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Gibran memberikan pernyataan bahwa pelajaran AI masuk ke SD, SMP dan SMK mulai tahun ajaran baru nanti.
Gibran menegaskan bahwa programnya ini telah dilakukan pembahasan pada rapat terbatas dengan Menteri Pendidikan. Pelajaran tersebut akan dimulai pada jenjang SD di kelas 5 kemudian SMP dan SMA.
(dec/spt)