Logo Bloomberg Technoz

"Tidak ada teknologi yang benar-benar aman. Jadi, biasanya ini adalah pertanyaan ekonomi...jika proyek ini sesukses yang mereka inginkan, maka akan lebih menguntungkan untuk dicoba dan ditangani," jelas Clark.

Ketimpangan Distribusi Koin dan Konflik Kepentingan

Dok: Worldcoin

Meskipun WorldID mengusung misi keadilan ekonomi, 20% dari total koin justru dialokasikan kepada investor dan karyawan perusahaan, termasuk firma modal ventura besar seperti Andreessen Horowitz. Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait konflik kepentingan dan ketimpangan akses manfaat.

Tak banyak pula pegiat blockchain menilai bahwa proyek ini bertentangan dengan prinsip dasar Web3, yang menjunjung anonimitas, desentralisasi, dan privasi. Worldcoin justru mendorong pembuatan satu identitas global yang bisa dilacak.

Worldcoin kian menjadi sorotan lantaran banyak beroperasi di negara-negara berkembang, seperti Kenya dan Indonesia, tempat masyarakatnya dinilai lebih rentan karena insentif kecil—kurang dari setengah dolar AS—cukup untuk menarik mereka menyerahkan data biometrik.

Akademisi seperti Pete Howson menyebut praktik ini sebagai bentuk "kripto-kolonialisme". "Eksperimen blockchain dan mata uang kripto dipaksakan pada komunitas yang rentan pada dasarnya karena... orang-orang ini tidak dapat melawan," ungkapnya

Masalah Hukum dan Kepatuhan Global

Di sisi lain, Worldcoin mengklaim mematuhi GDPR di Eropa atau European Union’s General Data Protection Regulation dan telah terdaftar di otoritas perlindungan data Bavaria, Jerman. Namun, pakar regulasi seperti Marietje Schaake menilai adanya celah hukum dan pengecualian yang tidak sah menurut aturan Uni Eropa. Terlebih lagi, perusahaan enggan mempublikasikan dokumen penilaian dampak privasi (Data Protection Impact Assessment/DPIA).

Meskipun teknologi “keamanan template” diklaim bisa melindungi data biometrik dengan kriptografi, para ahli seperti Stephanie Schuckers mencatat bahwa teknologi ini masih menghadapi tantangan akurasi dan performa. Tanpa publikasi kode, belum jelas apakah Worldcoin-WorldID benar-benar menerapkan sistem ini.

Masalah teknis juga terjadi. Orb, alat scan bola mata dilaporkan mengalami malfungsi di beberapa lokasi, termasuk Jerman. Perusahaan menyebut kejadian ini sebagai "kasus terisolasi," namun ini tetap menimbulkan pertanyaan soal kelayakan teknologi yang digunakan.

Pengembangan Orb mesin scan bola mata untuk WorldID. (Bloomberg)

Dengan sederet masalah mulai dari transparansi, eksploitasi populasi rentan, hingga risiko keamanan data biometrik, Worldcoin menghadapi sorotan tajam. Para ahli mengingatkan tanpa regulasi yang ketat dan keterbukaan menyeluruh, proyek ini justru dapat memperbesar ketimpangan digital dan membahayakan hak privasi warga global.

Pratama Dahlian Persadha dari Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) menjelaskan bahwa autentikasi biometrik memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi karena pola iris manusia bersifat unik, tidak dapat diubah, dan sulit dipalsukan.

Akan tetapi hal ini "karena sifatnya yang tidak bisa diubah seumur hidup, data retina menjadi sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah," cerita Pratama kepada Bloomberg Technoz saat dihubungi, Selasa.

Dan saat "bocor atau disalahgunakan, individu yang bersangkutan tidak memiliki opsi untuk “mengganti” identitas biometriknya sebagaimana bisa dilakukan pada kata sandi atau bahkan kartu identitas."

Di Indonesia sendiri, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan operasional dua perusahaan yang terafiliasi dengan Worldcoin-WorldID, yaitu PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara, karena belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo No. 10 Tahun 2021.

"Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat. Kami juga akan memanggil PT. Terang Bulan Abadi untuk klarifikasi resmi dalam waktu dekat," jelas Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar.

Pada bagian lain, Tools for Humanity (TFH)—perusahaan di balik protokol World—menyatakan bahwa sistem World dirancang untuk memverifikasi keunikan individu di era kecerdasan buatan tanpa menyimpan data pribadi pengguna.

General Manager Tools for Humanity Indonesia Wafa Taftazani, lantas merespons aksi Komdigi dengan menyebut bahwa TFH "telah mengantongi SPE sebelum diluncurkan di Indonesia. Saat ini, kami menghentikan sementara layanan verifikasi di Indonesia secara sukarela dan akan berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk meluruskan kekhawatiran yang ada."

@realmrbert Bahaya mengancam di Aplikasi WorldApp
worldcoin. 
#worldapp #openbiome #fyp #biometric ♬ original sound - Mr Bert

(prc/wep)

No more pages