Logo Bloomberg Technoz

Proyek tersebut digadang-gadang bakal menopang rencana pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik.

Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan proyek yang digarap bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu masih dalam tahap penyusunan dan pemutakhiran basic engineering design. PTBA menargetkan tahapan tersebut dapat rampung pada akhir 2025.

Tambang batu bara terbuka PT Bukit Asam. (Dok. PTBA)

Adapun estimasi biaya keseluruhan untuk riset dan pembangunan pilot plan hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis adalah sekitar Rp287,39 miliar.

"Selanjutnya, kami merencanakan pembangunan pilot plan di Tanjung Enim dan pada 2026 sebagai langkah lanjutan menuju skala komersial," kata Arsal.

Arsal menganggap proyek hilirisasi coal to artificial graphite itu sangat strategis untuk mendukung transformasi energi di Indonesia.

Sebagai anggota holding BUMN Pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), Arsal menegaskan, PTBA ingin berperan aktif dalam mewujudkan rantai pasok baterai nasional.

Anode sheet disebutnya menjadi komponen penting dalam baterai Lithium NMC 811. Nantinya, batu bara akan dikonversikan menjadi coalite, lalu diproses menjadi grafit sintetis, dan selanjutnya dibentuk menjadi lembaran anoda.

Arsal menerangkan produk lembaran anoda bakal berkontribusi sebesar 22% dari total komponen baterai litium. Hal itu menjadi cerminan besarnya peluang hilirisasi coal to artificial graphite untuk mendukung terciptanya ekosistem baterai kendaraan listrik di Tanah Air.

"Hal ini tentunya menunjukkan batu bara yang selama ini dikenal sebagai sumber energi primer, kini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri teknologi tinggi," tuturnya.

Arsal memaparkan pada 2027 hingga 2028, PTBA akan melaksanakan konstruksi pilot plant. Pada 2029, proyek tersebut akan tes komisioning dan masa pemeliharaan. 

2. Asam humat 

Proyek hilirisasi batu bara menjadi asam humat merupakan program penelitian dan pengembangan kerja sama antara PTBA dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk keperluan agroindustri.

“Jadi asam humat yang dihasilkan dari proses konversi batu bara ini memiliki manfaat yang signifikan, salah satunya untuk meningkatkan kualitas dan kesuburan tanah sehingga dapat mendukung produktivitas agroindustri nasional,” ucap Arsal.

Arsal menyebut PTBA tengah mempersiapkan prototipe skala awal dengan memanfaatkan batu bara kalori rendah dari salah satu tambang yang berlokasi di Peranap, Riau.

Adapun kapasitas awal yang direncanakan sebesar 60 ton batu bara per tahun dengan estimasi produksi 21 ton asam humat per tahun. Biaya yang dibutuhkan untuk mebuat prototipe proyek tersebut adalah Rp5,74 miliar.  

“Dari sisi pendanaan tentunya anggaranya ini kami harapkan dari kas internal kami dan targetnya untuk dapat memasukkan tahap commissioning ini pada 2025,” tuturnya.

Dia menambahkan, PTBA akan mengevaluasi teknik dan kelayakan keekonomian sebagai dasar keputusan untuk dikomersialisasi pada 2026.

“Upaya ini tentunya menjadi bukti bahwa batu bara tidak hanya dapat diolah untuk energi tetapi juga memiliki peran potensial dalam mendukung keberlanjutan sektor pangan dan pertanian Indonesia,” imbuh Arsal. 

3. Gas alam sintetis 

Proyek gasifikasi batu bara menjadi substitute natural gas (SNG) atau gas alam sintetis merupakan proyek kerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN. Proyek ini membutuhkan investasi sebesar US$3,2 miliar atau sekitar Rp52,58 triliun (asumsi kurs saat ini).

Arsal mengatakan proyek ini bertujuan untuk mencari alternatif solusi kebutuhan gas nasional dan dapat menambah diversifikasi portofolio energi gas nasional.

Dia  menjelaskan cadangan batu bara mencapai sekitar 2,93 miliar miliar ton per 2024. Untuk menggarap proyek tersebut, PTBA menggunakan batu bara dengan kalori rendah karena sangat sesuai untuk dikonversi menjadi gas sintetis.

Proyek SNG akan memanfaatkan 8,4 juta ton batu bara rendah kalori dengan potensi volume SNG yang dihasilkan sebesar 240 billion british thermal unit per day (BBtud) atau sekitar 1,6 juta ton per tahun.

Arsal menyebut proyek SNG nantinya akan dibangun di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Lokasi tersebut dinilai strategis karena dekat dengan infrastruktur PGN.

Adapun skema proyek SNG nantinya berbentuk perusahaan patungan atau joint venture (JV) antara PTBA, PGAS, dan mitra teknologi. PTBA diposisikan sebagai coal supplier atau pemasok batu bara.

Dia menjelaskan nantinya SNG ini akan didistribusikan oleh PGN melalui jaringan pipa eksisting kepada konsumen akhir.

Hingga saat ini, kata dia, PGN sedang dalam penyusunan head of agreement (HoA). Dalam waktu dekat, studi kelayakan atau feasibility study (FS) akan rampung guna mengevaluasi aspek teknis, keekonomian, serta formulasi harga yang kompetitif berdasarkan kajian sementara pada 2024.

Dalam perencanaan, PTBA menargetkan front end engineering design (FEED) dapat dimulai 2026 dan diikuti dengan penandatanganan perjanjian kerja sama, keputusan investasi final, proses pembiayaan, dan perizinan.

Jika proses itu berjalan sesuai rencana, maka pekerjaan lapangan konsumen ditargetkan dimulai pada 2028. Sementara itu, operasional komersialnya pada 2032. 

Batu bara milik PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. (Dok Dadang Tri/Bloomberg)


4. Dimethyl ether (DME) 

Di hadapan anggota legislasi, Arsal menyatakan proyek hilirisasi batu bara melalui gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME) masih terkendala sehingga butuh kajian yang mendalam. Arsal menyebut faktor keekonomian menjadi penghambat utama dari proyek itu.

Nah hanya untuk DME memang kita perlu dilakukan kajian yang sangat mendalam ya karena di samping investasinya besar, ya itu juga harus benar-benar memberikan nilai tambah yang buat bangsa dan negara ini,” ucap Arsal.

DME sejatinya digadang-gadang dapat menjadi substitusi gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG), karena impor komoditas tersebut yang terus naik dari tahun ke tahun. Akan tetapi, proyek itu justru lebih mahal ketimbang impor LPG.

"Pertama itu tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksinya masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," beber Arsal.

Di samping tantangan keekonomian, PTBA juga harus mengonversikan infrastruktur, seperti jalur distribusi maupun perangkat kompor rumah tangga supaya bisa kompatibel dengan produk DME.

"Jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlu kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas," tambah dia.

Adapun, PTBA sudah membebaskan lahan seluas 198 hektare atau sekitar 97% dari total kebutuhan lahan untuk proyek gasifikasi batu bara yang kala itu mencapai 203 hektare.

Artinya, sekalipun proyek tersebut kurang ekonomis untuk digarap PTBA tetap siap untuk menjalankan amanat dari pemerintah yang akan dibiayai  lewat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Arsal menegaska, pihaknya secara aktif melakukan penjajakan dengan calon mitra potensial, terutama perusahaan dari China seperti China National Chemical Engineering Group Corporation (CNCEC), China Chemical Engineering Second Construction Corporation (CCESCC), Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan East China Engineering Science and Technology Co., Ltd (ECEC).

"Dari seluruh calon mitra tersebut, baru ECEC gitu ya yang menyatakan minat menjadi mitra investor meski belum dari dalam skema investasi penuh atau full investment," jelasnya.

ECEC sendiri telah menyampaikan preliminary proposal coal to DME pada 18 November 2024 yang lalu dengan processing service fee (PSF) indikatif yang diusulkan berada di rentang US$412—US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan ekspektasi Kementerian ESDM pada 2021 sebesar US$310 per ton.

Dalam paparannya, proyek gasifikasi coal to DME mulanya dirancang untuk mengolah sekitar 6 juta ton baru bara per tahun dengan ekspektasi output 1,4 juta ton DME per tahun.

"Nah, produk DME yang dihasilkan ini diharapkan dapat menjadi alternatif energi bersih yang kompetitif dan dapat digunakan sebagai substitusi LPG bagi kebutuhan rumah tangga dan industri,” imbuhnya.

“Namun sebagaimana diketahui bersama pada Februari 2023, Air Products yang tadinya sebagai salah satu mitra yang membawa teknologi dan pendanaan ini menyampaikan mundur dari proyek ini," terang Arsal.

(mfd/wdh)

No more pages