Logo Bloomberg Technoz

Tingkat bunga diskonto SRBI yang makin luruh sepertinya juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan di pasar sekunder surat utang pemerintah.

Dalam beberapa pekan terakhir, yield SUN terus turun di tengah kembalinya pemodal asing kembali berbelanja hingga membukukan kenaikan posisi kepemilikan hampir Rp12 triliun pekan lalu. 

Dalam perdagangan hari ini, harga SUN juga naik tercermin dari penurunan yield mayoritas tenor terutama tenor pendek. Yield 1Y turun 5,8 bps, disusul tenor 2Y juga turun 2,1 bps dan 5Y terpangkas 1,3 bps. 

Bukan hanya harga obligasi negara, penurunan yield SRBI hari ini juga berlangsung ketika harga saham di pasar domestik melanjutkan reli. 

IHSG ditutup menguat 0,75% hari ini, mengantarkannya meraih kenaikan mingguan 2,05%. Indeks saham juga sudah menghapus semua kerugian sejak pasar terguncang usai libur Lebaran lalu.

Sementara rupiah bahkan mencetak kinerja mingguan terbaik sejak Januari 2023 silam, dengan penguatan 2,35% dan ditutup di level Rp16.435/US$ di pasar spot. 

Ekonomi butuh pelonggaran

Confidence pasar yang makin besar, terlihat dari kenaikan harga aset-aset berisiko seperti saham, juga mayoritas aset di emerging market, mungkin menjadi sinyal kuat kembalinya arus masuk modal asing ke pasar domestik. 

Yang terjadi hari ini terutama setelah muncul kabar bahwa Tiongkok, untuk pertama kalinya, memberikan respon positif atas upaya pendekatan Amerika Serikat soal perkara tarif.

Sentimen risk-on mungkin akan semakin besar bila data pasar tenaga kerja AS nanti malam lebih buruk ketimbang ekspektasi pasar. Itu karena peluang bagi Federal Reserve, bank sentral AS, memangkas bunga acuan, juga bisa semakin besar.

Di kala bunga global meluruh, pamor dolar AS akan turun. Yield Treasury, surat utang AS, juga mungkin ikut turun. Alhasil, dana global akan kembali mencari instrumen dengan yield lebih tinggi walau mungkin lebih berisiko seperti aset-aset di pasar portofolio Indonesia.

Ketika rupiah sudah jauh lebih kuat, maka satu 'penghalang' langkah BI melonggarkan moneter boleh dibilang mengecil.

Keputusan BI menahan bunga acuan pada bulan lalu dinilai sebagai 'cautious hold' karena rupiah. Namun, sejatinya sinyal penurunan bunga acuan sudah dekat menurut analis. 

Berdasarkan informasi yang diterima analis, "...Menyiratkan bahwa pemangkasan suku bunga sedang dibahas secara intensif dalam rapat Dewan Gubernur BI [April]. Maka itu, kami memajukan ekspektasi pemangkasan suku bunga BI rate sebesar 25 bps pada Mei atau Juni nanti dari tadinya diperkirakan pada Semester 2-2025 karena nilai rupiah sudah dinilai terlalu rendah," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Research Analyst Lintang, beberapa waktu lalu.

Dalam pada itu, analis memperkirakan BI rate bisa ke level 5% pada akhir tahun ini dengan asumsi akan terjadi pemangkasan lagi sebesar 25 bps sebanyak dua kali pada paruh kedua tahun 2025. 

Data inflasi April yang diumumkan hari ini dan ternyata melampaui ekspektasi pasar, menurut analis juga masih memadai memberikan ruang bagi Perry Warjiyo dan kolega untuk memulai pemangkasan bunga acuan dalam pertemuan Mei ini. Inflasi April tercatat 1,95%, meski melejit ke level tertinggi sejak Agustus 2024, namun masih berada di dalam kisaran target BI yaitu 2,5±1% untuk tahun ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dalam taklimat media pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur pada April lalu, "Kami akan terus memonitor peluang untuk pemangkasan bunga acuan. Begitu stabilitas rupiah tercapai, ruang untuk penurunan bunga acuan lebih lanjut akan lebih terbuka dan saat itulah [penurunan bunga acuan] dilakukan," kata Perry.

Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson memperkirakan, BI rate akan dipangkas sebanyak 25 basis poin pada pertemuan Bank Indonesia bulan ini di tengah makin banyak indikator aktivitas ekonomi yang mencatat pelemahan signifikan.

Pelonggaran moneter dibutuhkan untuk menolong perekonomian domestik agar tak semakin ambles terjegal panasnya perang dagang. BI dijadwalkan akan menggelar pertemuan untuk memutuskan bunga acuan pada 20-21 Mei nanti.

"Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini melemah, dengan pertumbuhan 4,97% year-on-year, dari sebesar 5,02% pada kuartal sebelumnya, terbebani oleh ketidakpastian kebijakan tarif AS," kata Tamara.

Indikator aktivitas konsumsi, investasi juga manufaktur di Indonesia kesemuanya menunjukkan pelemahan signifikan bahkan sebelum kebijakan tarif AS diumumkan. Yang terbaru, pada April, PMI manufaktur indeks Indonesia merosot ke zona kontraksi di level terendah sejak Agustus 2021.

Hasil survei Bloomberg terhadap 25 ekonom sampai sore ini, menghasilkan median 4,92%. Itu berarti pasar memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) RI pada kuartal pertama melambat dengan pertumbuhan cuma 4,92%. 

Bila angka itu terealisasi, maka akan menjadi capaian pertumbuhan PDB Indonesia yang terendah sejak kuartal III-2021 ketika laju ekonomi hanya 3,53% akibat perekonomian yang mati suri terhantam pandemi.

Badan Pusat Statistik dijadwalkan akan menggelar konferensi pers pengumuman kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 1-2025 pada hari Senin pekan depan.

(rui)

No more pages