Sedangkan, wilayah yang diprediksi akan mengalami awal musim kemarau yang mundur atau datang lebih lambat dibandingkan periode normal adalah Kalimantan bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, di Sulawesi, sebagian Maluku utara dan Merauke.
BMKG memprediksi, musim kemarau 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia akan berlangsung dengan kondisi iklim normal. Sekitar 60% wilayah diperkirakan mengalami sifat musim kemarau normal, termasuk sebagian besar Sumatera, Jawa bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sementara itu, 26% wilayah lainnya seperti Jawa barat dan tengah, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian Papua dan Sulawesi diprediksi mengalami musim kemarau di atas normal. Adapun wilayah yang mengalami musim kemarau di bawah normal atau lebih kering dari biasanya mencakup 14% wilayah, seperti Sumatera bagian utara dan Papua bagian selatan.
Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025. Dinamika atmosfer-laut menunjukkan El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam fase netral, yang artinya tidak ada pengaruh kuat dari fenomena global seperti El Niño atau La Niña. Hal ini membuat musim kemarau 2025 diperkirakan serupa dengan tahun 2024, dan tidak sekering tahun 2023.
BMKG mengimbau sektor-sektor terkait seperti pertanian, kebencanaan, lingkungan, energi, dan sumber daya air agar menyesuaikan kebijakan dan strategi masing-masing.
Di antaranya dengan mengatur jadwal tanam, memilih varietas tahan kering, memperluas lahan sawah di wilayah basah, dan mengelola pasokan air secara efisien. Informasi ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk optimalisasi pembangunan berbasis iklim di berbagai daerah.
"BMKG menghimbau agar informasi dalam Prediksi Musim Kemarau 2025 ini dapat dijadikan dasar dalam mendukung program asta cita melalui optimalisasi kondisi iklim sesuai dengan sumber daya di wilayah masing-masing," pungkas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan.
(wep)

































