Menurut perhitungan Hadi, jika Indonesia mengimpor dari Rusia, perkiraan harga minyak Negeri Beruang Merah setelah didiskon adalah sekitar US$50—US$55 per barel, dengan rumus harga Brent dikurangi diskon US$10—US$15 per barel dan asumsi Brent di level US$65/barel.
Minyak Urals bergerak di harga US$65,49/barel pada hari ini, menyitir data Trading Economics. Nilai tersebut turun dari US$68,06 pada 20 Februari 2025.
Urals selama ini diperdagangkan dengan harga lebih rendah dari Brent, di tengah price cap yang ditetapkan negara G-7 di level US$60/barel.
Sebagai perbandingan, Brent untuk penyelesaian Juni diperdagangkan 1,4% lebih rendah di level US$67,01 per barel pada pukul 1:53 siang di Singapura, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun 1,4% menjadi US$63,76 per barel.
Masih Diuntungkan
Dalam kaitan itu, Hadi yang juga Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) itu menilai pemerintah akan sangat diuntungkan jika membeli minyak dari Rusia.
“Jadi sangat murah menurut saya, cukup menarik harganya. Kalau dilihat dari acuan internasional, minyak Rusia yang masih kompetitif. Hanya saja diperlukan keberanian pemerintah RI untuk mengambil keputusan seperti India dan China yang banyak mendapat minyak dari Rusia,” kata Hadi.
"Kalau kita mengambil minyak Rusia itu, yang sering ribut kan Singapura [karena] di belakanganya ya AS. Karena volume impor dari mereka dengan patokan harga internasional menjadi berkurang."
Secara terpisah, Analis Mata Uang dan Komoditas Doo Financial Futures Lukman Leong menuturkan harga Brent dan minyak Rusia memang sudah tidak jauh berbeda. Akan tetapi, dia sepakat harga minyak Rusia masih jauh lebih murah.
Lukman menyarankan pemerintah dapar bernegosiasi kembali untuk membeli minyak Rusia mengingat harganya yang murah dan dan potensi penurunan harga masih sangat terbuka kedepannya.
“Cap harga minyak Russia masih lebih rendah daripada harga internasional,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana pekan lalu mengatakan pemerintah akan mengeksplorasi semua potensi kerja sama sektor energi dengan Rusia, tidak terkecuali untuk pembelian minyak mentah.
"Ya kita semua potensi kerja sama kita eksplorasi," ujar Dadan saat ditemui di sela agenda Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Selasa (15/4/2025).
Kendati demikian, Dadan mengatakan pertemuan dengan delegasi Rusia tersebut bukan membahas negosiasi perjanjian kerja sama untuk kontrak pembelian minyak, tetapi untuk mengeksplorasi berbagai potensi kerja sama.
"Ini kan bukan perjanjian kerja sama kontrak segala macam, ini antarpemerintah dengan pemerintah, kita mengeksplorasi," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengungkapkan pemerintah belum membahas konkret rencana membeli minyak mentah dari Rusia.
Menurut Edi, saat ini kedua negara baru menjajaki dan melihat semua kemungkinan. "Belum ada, kita baru menjajaki dan melihat semua kemungkinan," ujar Edi.
Keinginan Indonesia bisa membeli minyak dari Rusia pernah dilemparkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan usai resmi bergabung secara penuh dalam aliansi Brasil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) pada Senin (6/1/2025).
Luhut menyebut pada dasarnya Indonesia bisa membeli minyak dari mana pun, termasuk dari Rusia, sepanjang transaksinya menguntungkan Indonesia dengan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan mengimpor dari negara lain.
"Ya ke mana saja kalau menguntungkan Republik Indonesia kita beli, kalau kita ada dari bulan kita beli [...] Kalau kita dapat lebih murah US$20 atau US$22 [per barel] kenapa tidak?" ujar Luhut saat ditemui di kantornya, Kamis (9/1/2025).
S&P Global sebelumnya mengatakan invasi Rusia di Ukraina telah memicu pergolakan besar di pasar minyak global. Kondisi ini memaksa Moskwa untuk mencari pembeli alternatif, sementara Eropa berburu pasokan baru karena sanksi Barat berusaha untuk menekan pendapatan minyak yang penting bagi Kremlin.
Meski embargo Uni Eropa (UE) dan pembatasan harga (price cap) dari G-7 berlaku sepenuhnya terhadap minyak Rusia sejak 2022, ekspor minyak mentah Negeri Beruang Merah melalui jalur laut justru terpantau tetap tangguh lantaran aliran minyak dengan harga diskon itu telah bergeser ke Timur.
"Ekspor produk minyak [BBM] Rusia juga sebagian besar bertahan dengan pembeli baru di Afrika yang menyerap solar Rusia dan bahan bakar lain yang kini dilarang di Eropa," sebut S&P Global.
Daftar tujuan ekspor minyak mentah Rusia yang diangkut melalui laut:
- India : 1,576 juta barel/hari
- China : 0,933 juta barel/hari
- Unknown : 0,373 juta barel/hari
- Mesir : 0,225 juta barel/hari
- Turki : 0,201 juta barel/hari
- Tunisia : 0,110 juta barel/hari
- Singapura : 0,041 juta barel/hari
- Hong Kong : 0,024 juta barel/hari
- Rumania : 0,023 juta barel/hari
Secara kumulatif, volume minyak mentah Rusia yang diekspor ke sejumlah negara sebesar 3,506 juta menurut data pantauan terakhir Global Oil Flow Tracker S&P Global per 25 Maret 2025.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)

































