Dunia "menjadi semakin tidak pasti, tidak tenang, dan bahkan tidak stabil," kata Wong dalam pernyataannya di media sosial. "Kondisi global yang memungkinkan kesuksesan Singapura selama beberapa dekade terakhir mungkin tidak berdampak lagi."
Di dalam negeri, Wong dan PAP yang berkuasa—telah memerintah Singapura sejak merdeka pada tahun 1965—mengumumkan rencana tahun ini akan membelanjakan hampir S$124 miliar (US$94 miliar) untuk berbagai hal, mulai dari perbaikan bandara hingga voucher untuk supermarket dan perawatan lansia.
Berdasarkan jajak pendapat Februari, pendekatan pemerintah ini menuai kritik dari para tokoh oposisi, sedangkan mayoritas penduduk menilai langkah tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah biaya hidup mereka.
Meski PAP tidak pernah nyaris kehilangan suara mayoritas di parlemen—apalagi dalam Pemilu—partai-partai oposisi telah bekerja keras selama berminggu-minggu untuk meraih kemenangan. Mereka akan menguji kepercayaan pemilih pada Wong setelah PAP mencetak hasil Pemilu terburuknya pada 2020, memenangkan 89% kursi parlemen di tengah pandemi. PAP memperoleh sekitar 61% suara populer saat itu.
"Pemilu kali ini tidak hanya akan menjadi referendum bagi kepemimpinan Wong, tetapi juga bagi tim kepemimpinan generasi keempat yang ia pimpin," ujar Nydia Ngiow, direktur pelaksana di konsultan bisnis strategis BowerGroupAsia. "Bagi PAP, mempertahankan mayoritas dua pertiganya [suara] sangat penting."
Apakah oposisi bisa, dan sejauh mana memanfaatkannya, masih belum jelas di negara di mana jajak pendapat dilarang setelah Pemilu diumumkan. Kedua belah pihak meremehkan peluang mereka, seperti yang terjadi pada siklus-siklus sebelumnya. Wong mengatakan tahun lalu bahwa tidak ada jaminan partainya bisa membentuk pemerintahan yang stabil.
Pritam Singh, pemimpin oposisi di parlemen, telah memperingatkan bahwa Partai Buruh yang dipimpinnya menghadapi "risiko nyata akan musnah." Ia mengatakan setidaknya sepertiga dari parlemen harus terdiri dari anggota oposisi.
"Tidak ada yang salah dengan menawarkan pandangan alternatif," kata Singh dalam pernyataannya setelah pengumuman Pemilu. "Pandangan dari Partai Buruh didasarkan pada keinginan untuk mencapai hasil yang lebih baik bagi Singapura dan warga Singapura."
Apa pun masalahnya, realitas ekonomi akan menjadi fokus utama dalam Pemilu, di mana Singapura sudah memperkirakan pertumbuhan lebih lambat di tengah ketidakpastian perdagangan global. Kementerian Perdagangan dan Industri bulan ini menurunkan proyeksi pertumbuhan negara ini tahun 2025 menjadi 0-2% dari perkiraan 1%-3% pada Februari. Angka ini turun dari ekspansi 4,4% pada 2024.
Dampak PDB
Wong memperingatkan para anggota parlemen pada 8 April bahwa proyeksi tersebut mungkin akan dipangkas adanya mengingat tarif yang diberlakukan pemerintahan Trump dan dampaknya terhadap perdagangan global.
"Singapura mungkin atau mungkin tidak akan mengalami resesi tahun ini," kata Wong. "Saya yakin pertumbuhan ekonomi kita akan terdampak secara signifikan."
Hal ini ditegaskan kembali oleh mantan Perdana Menteri Lee, yang bulan ini mengatakan perang dagang baru "akan memengaruhi ekonomi kita, akan memengaruhi kawasan kita, dan akan memengaruhi masa depan kita. Ini bukanlah berita baik."
Tan Cheng Bock, ketua partai oposisi Partai Kemajuan Singapura, mengatakan bahwa pemerintah berusaha menakut-nakuti para pemilih menjelang Pemilu digelar.
Kebijakan Sosial
Di dalam negeri, Wong berupaya menopang perekonomian dengan berbagai kebijakan sosial baru, termasuk untuk pertama kalinya, tunjangan pengangguran. Strategi ini merupakan bagian dari visi Singapura yang disebut oleh alumnus Harvard ini sebagai cara menyegarkan kembali kebijakan sosial negara pulau tersebut.
Pendekatannya memicu kritik keras dari pihak oposisi, yang menuduh pemerintah "memacu inflasi."
"Sayangnya, paket bantuan yang diberikan pemerintah sekarang sudah biasa dan orang-orang tetap mengharapkannya," kata mantan anggota parlemen dari partai yang berkuasa, Inderjit Singh, sebelum parlemen dibubarkan. "Saya pikir paket bantuan ini tidak akan berdampak besar untuk memenangkan kembali banyak suara."
Ngiow dari BowerGroupAsia mengutarakan, karena PAP dan oposisi menghadapi kontroversi politik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk hukuman korupsi pada 2024 yang memenjarakan seorang menteri, pertanyaannya adalah seberapa banyak hal itu masih membekas di benak para pemilih.
"Meski lingkungan ini dapat membuka jalan bagi kemenangan oposisi, banyak hal bergantung pada apakah partai-partai oposisi bisa menawarkan solusi biaya hidup jangka panjang yang kredibel," ujarnya.
(bbn)































