Sebelumnya, Harvard sempat menyatakan akan bekerja sama dengan pemerintah untuk menangani antisemitisme di kampus, termasuk memperketat sanksi disipliner. Namun, Garber menegaskan bahwa tuntutan terbaru pemerintah sudah melewati batas yang bisa diterima.
Dalam pernyataan di situs resmi universitas, Garber mengungkapkan bahwa pada Jumat malam lalu, pemerintah mengajukan syarat-syarat tambahan untuk mempertahankan dana federal. Syarat tersebut meliputi reformasi tata kelola, penghapusan program keberagaman dan inklusi (DEI), perubahan dalam proses penerimaan mahasiswa dan rekrutmen staf, serta pembatasan “kekuasaan” sejumlah mahasiswa, dosen, dan staf yang dianggap memiliki pandangan ideologis tertentu.
“Hal ini menunjukkan bahwa niat pemerintah bukan untuk bekerja sama secara konstruktif dalam mengatasi antisemitisme,” tulis Garber. “Meski beberapa tuntutan memang menyasar isu antisemitisme, mayoritas di antaranya adalah bentuk pengaturan langsung oleh pemerintah atas ‘kondisi intelektual’ di Harvard.”
Pada Februari lalu, pemerintahan Trump membentuk gugus tugas lintas lembaga untuk “memberantas antisemitisme” dan mengumumkan akan mengunjungi 10 kampus yang dilaporkan mengalami insiden antisemitisme, termasuk Harvard dan Universitas Columbia.
Tuntutan kepada Harvard disebut jauh lebih berat dibanding Columbia. Setelah pemerintah membekukan dana sebesar US$400 juta untuk Columbia, universitas tersebut setuju untuk melarang penggunaan masker, memperluas kewenangan polisi kampus, dan menunjuk wakil rektor senior untuk mengawasi departemen kajian Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika.
“Baik Harvard maupun universitas swasta mana pun tidak boleh membiarkan dirinya diambil alih oleh pemerintah federal,” tulis firma hukum yang mewakili Harvard — Quinn Emanuel Urquhart & Sullivan serta King & Spalding — dalam surat kepada sejumlah lembaga federal, termasuk Departemen Pendidikan AS.
(bbn)































