Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent meredam kekhawatiran atas aksi jual di pasar obligasi baru-baru ini. Ia membantah spekulasi bahwa negara-negara asing tengah melepas kepemilikan atas surat utang AS, sembari menegaskan bahwa departemennya memiliki instrumen untuk merespons jika terjadi dislokasi pasar.
“Saya tidak melihat adanya aksi jual besar-besaran oleh investor asing,” kata Bessent dalam wawancara dengan Bloomberg Television saat berkunjung ke Buenos Aires, Argentina. Ia juga menyebut adanya peningkatan permintaan asing dalam lelang obligasi tenor 10 dan 30 tahun pekan lalu.
Sejumlah perusahaan keuangan besar di Wall Street menyoroti betapa sulitnya memprediksi arah pasar saham saat ini. Venu Krishna dari Barclays Plc menyatakan bahwa volatilitas tinggi belakangan ini membuat harga menjadi sulit dipercaya, sementara Dubravko Lakos-Bujas dari JPMorgan Chase & Co menilai bahwa membuat prediksi di tengah kondisi seperti sekarang menghasilkan proyeksi dengan rentang yang sangat luas.
“Memasuki awal pekan ini, para pelaku pasar kembali fokus pada lini masa media sosial dan pemberitaan untuk mengikuti kelanjutan drama 'tarif diberlakukan, lalu dicabut',” ujar Jay Woods dari Freedom Capital Markets. “Satu hal yang pasti dari pemerintahan saat ini adalah mereka pandai membuat pelaku pasar tetap waspada.”
Para ahli strategi di divisi riset BlackRock Inc menyatakan mereka meningkatkan eksposur risiko dan mulai melirik saham AS dan Jepang, menyusul penundaan tarif Trump terhadap banyak mitra dagang global. Namun, mereka tetap menghindari obligasi jangka panjang AS.
“Risiko keuangan jangka pendek telah mereda,” tulis para analis BlackRock Investment Institute seperti Jean Boivin dan Wei Li. “Kepastian kebijakan memungkinkan kami memperpanjang cakrawala taktis hingga enam sampai 12 bulan ke depan dan kembali bersikap positif terhadap saham AS dan Jepang.”
Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang dengan tenor super-panjang melonjak pada Senin, di tengah spekulasi bahwa pemerintah akan menyusun anggaran tambahan sebagai respons atas tarif baru. Imbal hasil obligasi 20 tahun naik tujuh basis poin menjadi 2,435%, tertinggi sejak 2004. Imbal hasil 30 tahun melonjak 12 basis poin menjadi 2,845%.
Sorotan investor juga tertuju pada kunjungan luar negeri pertama Presiden China Xi Jinping tahun ini. Ia tiba di Vietnam pada Senin, dan dijadwalkan mengunjungi Malaysia serta Kamboja. Dalam lawatannya, Xi diperkirakan akan menampilkan China sebagai mitra dagang yang lebih stabil dibanding Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.
Para pembuat kebijakan kini tengah memantau berbagai indikator untuk menilai apakah tarif yang diberlakukan Trump akan mendorong inflasi secara lebih persisten. Banyak ekonom memproyeksikan bahwa tarif ini akan mendorong inflasi dalam jangka pendek, namun sejauh ini ancaman tersebut belum mengubah pandangan konsumen untuk jangka panjang.
Deputi Gubernur Federal Reserve Christopher Waller memaparkan dua skenario tentang bagaimana kebijakan dagang Trump dapat memengaruhi ekonomi AS, namun ia menilai dampak inflasinya cenderung bersifat sementara.
Ia menyebut kebijakan tarif baru sebagai “salah satu guncangan terbesar yang memengaruhi ekonomi AS dalam beberapa dekade,” dalam pidatonya yang disiapkan untuk sebuah acara di St. Louis pada Senin. Jika tarif memang memberikan dampak kecil terhadap inflasi, pemangkasan suku bunga “sangat mungkin” dilakukan pada paruh kedua 2025, ujarnya.
(bbn)

































