Logo Bloomberg Technoz

Pelemahan saham BBNI tidak lepas dari gejolak sentimen global dan arus modal asing yang keluar dari pasar saham Indonesia. Sejak awal 2025, investor asing terlihat gencar melakukan aksi jual di saham-saham berkapitalisasi besar, terutama perbankan.

Ketidakpastian global memicu keluarnya dana asing. Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintahan baru di Amerika Serikat (AS) serta sikap bank sentral Federal Reserve yang tidak seagresif ekspektasi dalam menurunkan suku bunga membuat nilai tukar dolar AS menguat. 

Foto Donald Trump di bursa Wall Street (Michael Nagle/Bloomberg)

Kondisi ini mengurangi minat investor asing terhadap aset pasar berkembang, termasuk saham perbankan Indonesia. Alhasil, terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang menekan harga saham-saham bank besar di Bursa Efek Indonesia. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengonfirmasi tren tersebut: pada akhir Februari 2025, keempat bank terbesar (BBCA, BBRI, BMRI, BBNI) kompak mencatat penurunan harga saham sejak awal tahun.

OJK menyebut penurunan saham perbankan itu “tidak terlepas dari adanya aksi jual investor asing” seiring penyesuaian risk appetite akibat ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global dan pasar keuangan dunia .

Tak hanya faktor eksternal, kondisi domestik turut berkontribusi pada sentimen pasar. OJK mengungkapkan bahwa likuiditas di pasar saham Indonesia agak ketat di tengah situasi perekonomian global dan domestik yang masih labil, ditambah lagi tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat . Dengan kata lain, investor cemas bahwa perlambatan ekonomi dapat menekan kinerja sektor perbankan ke depan. 

Kombinasi antara tekanan eksternal (arus keluar modal asing) dan kekhawatiran internal ini menciptakan sentimen negatif yang kuat terhadap saham-saham bank, termasuk BBNI.

Kinerja BNI: Laba Tipis & Tantangan Fundamental

Di tengah sentimen pasar yang kurang kondusif, laporan kinerja fundamental BBNI untuk 2024 dan awal 2025 ternyata tidak terlalu impresif, sehingga turut membebani harga sahamnya. BBNI sebenarnya tetap mencetak pertumbuhan laba, tetapi angkanya relatif kecil dibanding ekspektasi. 

Sepanjang 2024, BBNI membukukan laba bersih konsolidasi sekitar Rp21,5 triliun. Hanya tumbuh 2,7% secara tahunan.

Pencapaian laba ini bahkan sedikit di bawah konsensus analis (hanya 97% dari estimasi laba 2024), mengindikasikan hasil yang mengecewakan pasar. Sebagai perbandingan, bank swasta terbesar BCA (BBCA) mampu menaikkan laba 2024 hingga 12,7% YoY, sementara bank BUMN lain seperti Mandiri (BMRI) dan BRI (BBRI) mencatat pertumbuhan laba mendekati 1% atau kurang. 

Yang menjadi sorotan utama adalah margin dan likuiditas BBNI. Meski pendapatan bunga bersih BBNI masih tumbuh, marjin keuntungan cenderung tertekan. 

BRI Danareksa Sekuritas dalam riset terbarunya mencatat bahwa Net Interest Margin (NIM) BBNI turun pada awal 2025 dibanding tahun lalu akibat biaya dana (cost of funds) yang meningkat.

Penyebabnya, imbal hasil instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang tinggi membuat BBNI harus menawarkan bunga simpanan lebih besar untuk bersaing, sehingga biaya dana naik dan menekan marjin.

Riset Samuel Sekuritas turut menyoroti tantangan serupa, meski tetap melihat prospek jangka panjang yang positif. Samuel Sekuritas merekomendasikan beli untuk saham BBNI dengan target harga Rp6.000, seraya mengakui bahwa “terdapat tekanan NIM karena CoF tetap menjadi tantangan utama akibat imbal hasil SRBI yang terus tinggi”. Artinya, selama suku bunga acuan dan imbal hasil aset berbunga tinggi masih bertahan, margin bunga bersih BNI bisa tetap tergerus.

Selain marjin, aspek likuiditas BBNI pun menjadi perhatian investor. Sepanjang 2024 lalu, BBNI agresif menyalurkan kredit hingga tumbuh 11,6% YoY, terutama pada segmen korporasi.

Namun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tidak secepat itu, hanya sekitar 1% YoY per Februari 2025 menurut catatan BRI Danareksa. Akibatnya, rasio Loan to Deposit (LDR) BBNI meroket dari sekitar 85,8% di akhir 2023 menjadi 96,1% di akhir 2024.

Analis Phintraco Sekuritas mencatat likuiditas BBNI “masih tertekan” dengan LDR setinggi itu, meski ada perbaikan kualitas aset (NPL bruto BBNI turun menjadi 2,0% pada 2024).

LDR yang mendekati 100% mencerminkan ruang BBNI untuk menyalurkan kredit tambahan semakin sempit kecuali bank berhasil menghimpun dana lebih banyak. 

Gedung BNI. (Dok. BNi)

Keketatan likuiditas ini menimbulkan kekhawatiran pasar: BBNI mungkin harus menaikkan suku bunga deposito atau mencari pendanaan mahal untuk memenuhi pertumbuhan kredit, yang ujungnya bisa membebani laba.

Perlu dicatat, manajemen BBNI sebenarnya telah mengambil langkah-langkah korporasi yang diharap bisa mendukung harga saham. Pada RUPS Tahunan akhir Maret 2025, BBNI memutuskan untuk membagikan dividen tunai sebesar 65% dari laba bersih 2024, setara sekitar Rp13,95 triliun.

Dividend payout ratio yang tinggi ini dimaksudkan sebagai sweetener bagi investor di tengah pelemahan harga saham. Selain itu, BBNI juga merestui rencana buyback saham dengan dana maksimal Rp1,5 triliun . 

Kebijakan buyback biasanya bertujuan menstabilkan harga saham dengan menyerap sebagian saham beredar. Namun, efektivitas langkah tersebut masih diragukan oleh sebagian pengamat. 

Stockbit Sekuritas Digital menilai nilai buyback BBNI relatif kecil dibanding kapitalisasi pasar dan porsi saham publiknya – hanya sekitar 2,2% dari free float  – sehingga dampak jangka panjangnya mungkin terbatas. Benar saja, sempat muncul euforia singkat setelah pengumuman buyback di mana saham BBNI menguat di awal Februari (sempat naik 5,1% year-to-date per 17 Februari).

Namun, sentimen tersebut tidak bertahan lama; investor kembali melepas saham ini setelah melihat fundamental yang belum membaik signifikan dan tekanan makro yang berlanjut.

Sentimen Pasar & Perbandingan dengan Saham Bank Lain

Pelemahan saham BBNI pada dasarnya terjadi bersamaan dengan koreksi indeks saham dan sektor perbankan secara luas di awal 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi hampir 4% YtD di bulan Januari–Februari, dipimpin sektor perbankan. Bahkan, BMRI dan BBCA mencatat penurunan harga saham year-to-date yang lebih dalam (masing-masing sekitar 10% dan 7% pada akhir Februari). 

Dibandingkan ketiganya, penurunan BBNI sempat paling landai di awal tahun (hanya -1% s/d Februari) , menunjukkan saham ini awalnya relatif tahan banting. Namun memasuki Maret dan April, tekanan terhadap BBNI meningkat sementara saham bank lain mulai stabil menjelang musim dividen. 

Pada penutupan pasar sebelum libur Lebaran pertengahan April, harga BBNI berada di Rp4.240 per saham, turun 7,63% secara year-to-date.  Koreksi ini lebih besar daripada penurunan IHSG di periode yang sama, mengindikasikan underperformance BBNI belakangan ini.

IHSG Turun 16% Lebih Secara Year to Date atau di Sepanjang Tahun 2025 (Bloomberg)

Para analis menilai sentimen negatif terhadap BBNI diperburuk oleh ekspektasi pertumbuhan yang lebih rendah dibanding bank big caps lain. 

Tahun 2025 diproyeksikan menjadi periode perlambatan pertumbuhan laba perbankan karena efek basis tinggi tahun sebelumnya dan pengetatan likuiditas. Pertumbuhan laba pada tahun 2025 mungkin melambat, dan bahwa likuiditas ketat kemungkinan tidak memburuk lebih jauh dan NIM perbankan bisa stabil.

Artinya, bank-bank besar mungkin tidak lagi dapat mengompensasi penurunan margin dengan ekspansi kredit agresif seperti di 2024, sehingga kenaikan laba melambat. Dalam konteks ini, BBNI yang di 2024 hanya tumbuh single digit dianggap kurang menjanjikan akselerasi laba di 2025, apalagi dengan tantangan likuiditas tadi. 

Hal ini membuat sebagian investor memilih rebalancing ke saham bank lain yang dianggap memiliki katalis kuat (misalnya BBRI dengan dominasi mikro, atau BBCA dengan kualitas CASA tinggi).

Meski demikian, perlu diingat bahwa penurunan harga telah membuat valuasi saham-saham bank besar semakin murah secara historis. Price to Book Value (PBV) BBNI saat ini berada di kisaran 1 kali, lebih rendah dibanding rata-rata sektor.

Banyak rumah riset masih bersikap positif terhadap prospek fundamental BBNI dan perbankan BUMN lainnya untuk jangka menengah-panjang. Konsensus analis Bloomberg menunjukkan sekitar 29 dari 35 analis memberikan rekomendasi beli untuk BBNI, dengan target harga konsensus di Rp5.677 per saham (sekitar 30% di atas harga saat ini).

Sejumlah sekuritas terkemuka juga tetap menyarankan akumulasi saham BBNI. Mandiri Sekuritas, misalnya, disebut-sebut memasang target harga sekitar Rp6.150–6.600 untuk BBNI tahun ini  – mengindikasikan keyakinan akan upside jika sentimen membaik. 

Namun, rekomendasi positif analis sejauh ini belum mampu membendung aksi jual di pasar. Sebagai saham BUMN, BBNI masih dibayangi berbagai sentimen negatif yang membuat investor “wait and see”. 

Kekhawatiran akan ketatnya likuiditas perbankan, margin yang tertekan, serta arus dana asing keluar kemungkinan masih akan membatasi pergerakan saham ini dalam jangka pendek. Bahkan katalis positif seperti dividen jumbo pun tidak serta merta mengubah sentimen pasar yang telanjur berhati-hati.

Secara keseluruhan, penurunan harga saham BBNI sepanjang 2025 mencerminkan perpaduan faktor eksternal dan internal. Di satu sisi, goncangan makro global dan aksi jual investor asing menekan seluruh saham perbankan berkapitalisasi besar, termasuk BBNI  . 

Di sisi lain, kinerja BBNI yang kurang cemerlang – laba tumbuh tipis dan tantangan likuiditas yang menekan margin – memberikan alasan fundamental bagi investor untuk bersikap negatif . Dibanding kompetitornya, BBNI menghadapi sentiment lebih kritis karena ekspektasi pasar yang belum terpenuhi.

Kendati demikian, manajemen BBNI menegaskan bahwa fundamental perseroan tetap solid dan perbaikan terus diupayakan. Perusahaan optimistis dapat menjaga pertumbuhan kredit sehat sembari menurunkan cost of fund melalui peningkatan dana murah (CASA). 

Beberapa analis pun berpendapat tekanan pada saham-saham bank BUMN bisa mereda seiring potensi pelonggaran kebijakan moneter di paruh kedua 2025 dan penyaluran dividen yang menjadi sweetener bagi investor.

Bagi investor ritel dan publik yang mengikuti pasar modal, saham BBNI kini ibarat pisau bermata dua: valuasinya menarik setelah terkoreksi, tetapi sentimen negatif jangka pendek masih membayangi. Sikap kehati-hatian tetap diutamakan sambil mencermati perkembangan makro dan kinerja BBNI ke depan, apakah mampu menjawab keraguan pasar atau justru sebaliknya. 

Yang jelas, pengalaman awal 2025 ini menjadi pengingat bahwa bahkan emiten berfundamental kuat pun tak kebal terhadap sentimen pasar – terutama ketika awan ketidakpastian global dan domestik bergelayut di sektor keuangan.

(riset)

No more pages