Rusia melalui intelijen militernya, GRU, juga memiliki unit siber termasuk Unit 74455 yang terlibat dalam serangan siber global, papar Heru. Kemudian Inggris yang memiliki National Cyber Force (NCF) untuk operasi siber ofensif dan defensif. Israel yang kini berkonflik di wilayah Palestina juga memiliki Unit 8200 dalam IDF (Israel Defense Forces) yang fokus pada intelijen siber dan pertahanan.
Tak berhenti sampai di situ, contih lainnya adalah Commandement de la Cyberdéfense (ComCyber) di bawah militer negara Prancis. Tujuannya sama mengantisipasi ancaman siber. Bahkan India memiliki Defence Cyber Agency (DCA).
Adapun terkait perluasan tugas militer selain perang termasuk menanggulangi ancaman siber, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyatakan akan terdapat pembahasan lebih jauh namun pihaknya masih menunggu terkait poin baru dari UU TNI baru tersebut.
“Kami masih menunggu terkait poin baru di Undang-Undang TNI yang terkait dengan keamanan siber. Pada prinsipnya sekali lagi kantor ini terbuka sekali untuk diskusi,” kata Meutya ketika ditemui di Jakarta, dikutip Selasa (25/3/2025).
Lebih lanjut, ia mengaku siap memberikan masukan, “jikalau nanti kami juga dipersilakan untuk memberikan masukan, tentu akan dengan senang hati memberi masukan," sambung dia.
Ketua MPR Bambang Soesatyo pada Agustus tahun lalu menyoroti pentingnya pembentukan Angkatan Siber TNI, sejalan dengan era baru di mana operasi militer dapat dikendalikan dari jarak jauh. Perencanaan sudah disiapkan lama dan sesuai janji akan segera terwujud dalam pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Menkopolhukam di era pemerintahan lalu, Hadi Tjahjanto, Angkatan Siber akan menjadi matra ke-4 selain Angkatan Darat, Laut, Udara (AD/AL/AD). Fungsi Angkatan Siber sebagai pasukan yang dapat menangkal serangan siber dari luar.
Angkatan Siber akan menjawab dinamika perkembangan lingkungan strategis pada saat ini telah memberikan multiplier effect terhadap geopolitik dan geostrategi suatu negara termasuk Indonesia, disampaikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam sebuah kesempatan bulan September.
"Medan operasi yang sebelumnya hanya mencakup operasi di darat, laut, udara dan ruang angkasa, kini bertambah mencakup ruang siber," terang Agus dibacakan Kasum TNI Letjen TNI Richard Tampubolon kala itu.
Di sisi lain Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) justsru khawatir perihal militer masuk ke ruang siber karena jadi cara negara mengonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional.
Efeknya adalah negara "melegitimasi penerapan langkah-langkah berorientasi militer dalam menangani ancaman siber serta membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti," tulis SAFEnet.
Penolakan SAFEnet disampaikan usai menelaah dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi pemerintah terakhir tentang memperluas wilayah OMSP dalam UU TNI.
OMSP dapat menjadi ancaman hak-hak digital masyarakat Indonesia dan sangat rentan disalahgunakan, dalam dimensi virtual dan kognitif dari perang siber. "Negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia," terang SAFEnet.
Frase amancan perang siber dikhawatirkan juga menjadi alat kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital. Kewenangan militer bisa berupa pengawasan massal dan itu merupakan pelanggaran hak atas privasi.
(wep)































