China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan bersumpah akan menyatukan pulau tersebut, bahkan dengan menggunakan kekuatan jika diperlukan. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pada 7 Maret menegaskan kembali bahwa Taiwan adalah "bagian yang tak terpisahkan" dari wilayah China.
“Ini adalah sejarah dan kenyataan,” kata Wang di sela-sela Kongres Rakyat Nasional di Beijing. “Taiwan tidak pernah menjadi negara, tidak di masa lalu, dan tidak akan pernah di masa depan,” tambahnya. “Bersekongkol dengan 'kemerdekaan Taiwan' berarti merusak stabilitas Selat Taiwan.”
Militer China semakin aktif berpatroli di sekitar Taiwan, dan Lai mencatat adanya peningkatan kasus spionase yang melibatkan angkatan bersenjata Taiwan.
Oleh karena itu, pemerintah akan mengupayakan agar pengadilan militer dapat beroperasi kembali pada masa damai jika ada tentara yang diduga melakukan pengkhianatan, membantu musuh, membocorkan informasi rahasia, lalai dalam tugas, atau melakukan pembangkangan.
Langkah ini akan menjadi perubahan besar bagi Taiwan, yang merupakan demokrasi muda setelah puluhan tahun berada di bawah pemerintahan darurat militer hingga akhir 1980-an. Saat ini, Taiwan melarang pengadilan militer dalam kondisi damai. Keputusan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, yang sempat mengisyaratkan darurat militer pada Desember lalu juga menimbulkan perdebatan di Taiwan, mendorong upaya legislasi untuk membatasi penerapan kebijakan semacam itu.
Namun, masih belum jelas apakah DPP yang dipimpin Lai dapat meloloskan legislasi ini, mengingat mereka tidak memiliki mayoritas di parlemen. Saat ini, tentara dan warga sipil yang terlibat spionase sudah diadili di pengadilan sipil. Bulan lalu, Mahkamah Agung Taiwan menguatkan hukuman terhadap delapan orang, termasuk beberapa perwira aktif, yang terbukti menjadi mata-mata untuk China, seperti dilaporkan oleh Kantor Berita Pusat Taiwan (CNA).
Dalam konferensi pers yang sama, Lai juga mengungkapkan rencana Taiwan untuk mengelola risiko yang ditimbulkan oleh wisatawan asal China. Selain itu, pemerintah Taiwan akan membangun mekanisme yang transparan bagi pegawai negeri sipil Taiwan untuk bepergian ke China dalam rangka pertukaran.
Keputusan ini muncul setelah pemerintah menyatakan keprihatinannya atas laporan bahwa beberapa warga Taiwan memiliki izin tinggal di China, yang ilegal menurut hukum Taiwan. Pemerintah juga tengah meninjau aturan ketat terkait pemberian izin tinggal bagi warga Hong Kong dan Makau. Awal bulan ini, Taiwan mencabut izin tinggal seorang influencer media sosial asal China yang diduga mendukung aneksasi Taiwan.
Lai mengatakan, dirinya telah meminta instansi pemerintah untuk memperkuat pembinaan dan pengelolaan para aktor dan seniman Taiwan yang berkarya di China, serta menetapkan hukuman secara tegas bagi mereka yang dinilai merusak martabat nasional.
Pekan lalu, perdebatan di media sosial Taiwan merebak setelah sejumlah artis Taiwan membagikan ulang unggahan dari televisi pemerintah China di Weibo yang menyebut Taiwan sebagai "Provinsi Taiwan, China," bertepatan dengan Kongres Rakyat Nasional China.
Meskipun mengambil sikap tegas terhadap Beijing, Lai tetap menegaskan komitmennya terhadap perdamaian dan keterbukaan untuk bekerja sama dengan China dalam berbagai isu. Namun, ia menekankan bahwa "tidak ada pihak di Selat Taiwan yang berada dalam posisi subordinat terhadap yang lain."
Sejauh ini, China telah memutus sebagian besar jalur komunikasi resmi dengan pemerintahannya, tetapi tetap menjalin hubungan dengan anggota parlemen dari oposisi Kuomintang (KMT), yang cenderung mendukung reunifikasi dengan Beijing.
(bbn)
































