Josua menilai, dengan strategi efisiensi belanja dan upaya meningkatkan penerimaan pajak di semester kedua, diharapkan defisit dapat tetap terjaga sesuai target. Kendati demikian, Josua mengatakan terdapat risiko peningkatan defisit jika pertumbuhan ekonomi melambat atau belanja pemerintah tidak terkendali.
Josua mengatakan penyebab utama defisit ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, penerimaan negara mengalami tekanan, terutama dari sisi pajak yang turun cukup drastis. Penerimaan pajak bruto hingga Februari 2025 hanya mencapai Rp298,87 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, terutama akibat penurunan harga komoditas seperti batu bara, minyak mentah, dan nikel.
Selain itu, penerapan sistem tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21 menyebabkan kelebihan pembayaran di 2024 yang diklaim kembali pada Januari-Februari 2025, sehingga mengurangi penerimaan di awal tahun. Relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) domestik hingga 10 Maret 2025 juga membuat penerimaan pajak mengalami keterlambatan.
Di sisi belanja, kata Josua, meskipun pemerintah telah menerapkan berbagai langkah efisiensi anggaran, realisasi belanja negara tetap lebih tinggi dibandingkan pendapatan. Realisasi belanja hingga Februari 2025 mencapai Rp348,1 triliun, dengan belanja sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, dan subsidi energi tetap berjalan. Kenaikan belanja sosial ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi global dan dinamika harga pangan.
(dov/roy)































