Bahan baku yang digunakan untuk diproses menjadi DME merupakan batu bara dengan kandungan kalori yang baik sehingga biaya yang dibutuhkan cukup tinggi.
“Karena feedstock batu bara yang digunakan berkalori 4.000 - 4.200, biaya bahan bakunya relatif tinggi. Sehingga ketika melalui proses produksi menjadi DME, harga barang jadinya menjadi mahal dan bahkan dalam hitungan kami bisa lebih mahal daripada impor LPG,” tuturnya. “Padahal tujuan kita memproduksi DME adalah justru untuk mensubstitusi penggunaan LPG.”
Eddy menegaskan kendala dan perhitungan keekonomian pada saat itu yang membuat kebijakan hilirisasi batu bara ini akhirnya tidak berlanjut. Alhasil dua perusahaan pelat merah dan satu perusahaan swasta hengkang dari proyek tersebut.
“Kendala keekonomian ini membuat dua BUMN kita, serta salah satu perusahaan batu bara swasta nasional membatalkan investasi dengan perusahaan Air Products dari Amerika yang memang ahli dalam proses hilirisasi batu bara,” ucap Eddy.
Direktur Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai hilirisasi menjadi DME sebelumnya telah terbukti tidak menarik bagi investor lantaran nilai keekonomiannya yang tidak tertakar.
“Sebenarnya hilirisasi dari batu bara ini kan terbukti investornya tidak ada yang tertarik, karena memang secara biaya investasi awal mahal, kemudian offtaker-nya juga tuh. Gasifikasi batu bara kan butuh saluran pipa gasnya juga dan offtaker-nya harus siap untuk menyerap dari hasil gasifikasi batu bara,” ujarnya saat dihubungi belum lama ini.
Jika hilirisasi batu bara menjadi DME tetap dipaksakan, negara berpotensi kehilangan pendapatan royalti senilai Rp33,8 triliun per tahun melalui pembiayaan oleh Danantara. Hal ini karena hilirisasi batu bara dalam Undang-undang Cipta Kerja diberikan insentif royalti 0%.
Bhima berpendapat jika Indonesia tetap mendorong proyek DME batu bara yang mahal secara keekonomian dan membutuhkan biaya besar, ujung-ujungnya pemerintah akan terpaksa memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi di proyek ini.
DME porsi terbesar
Pada pekan lalu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut proyek hilirisasi batu bara menjadi DME kali ini akan dijalankan dengan pendekatan berbeda, yakni mengandalkan sumber daya dalam negeri tanpa ketergantungan pada investor asing.
"Sekarang kita tidak butuh investor negara semua lewat kebijakan Bapak Presiden dengan memanfaatkan resource dalam negeri. [Hal] yang kita butuh dari mereka adalah teknologinya, yang kita butuh uangnya capex-nya semua dari pemerintah dan dari swasta nasional, kemudian bahan bakunya dari kita, dan off taker-nya pun dari kita,” jelas Bahlil, Senin (3/3/2025).
Bahlil menyebutkan bahwa proyek hilirisasi batu bara menjadi DME akan dikembangkan secara paralel di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Dalam perkembangannya, proyek tersebut mendapat porsi terbesar mencapai US$11 miliar atau sekitar Rp180,8 triliun dari total investasi untuk 21 proyek hilirisasi tahap pertama yang menembus Rp659,2 triliun.
“Paling gede DME. Proyek DME-nya 4, itu [nilai investasinya] sekitar US$ 11 miliar,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Tri Winarno ditemui di kantornya, Selasa (4/3/2025).
Pada era Presiden ke-7 Joko Widodo, proyek strategis nasional (PSN) gasifikasi batu bara menjadi DME memiliki taksiran nilai investasi US$2,1 miliar. Saat itu, proyek ini diharapkan menjadi program mercusuar untuk substitusi impor gas minyak cair atau LPG yang nilainya mencapai Rp7 triliun per tahun.
Ide gasifikasi batu bara menjadi DME pada awalnya dipasrahkan pemerintah ke PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), dengan bantuan investasi dari Air Products & Chemical Inc (APCI) asal Amerika Serikat (AS).
Proyek itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.
Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI, proyek itu mulanya digadang-gadang sanggup menghasilkan DME sekitar 1,4 juta ton per tahun dengan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun.
Namun, pada medio 2023, APCI hengkang dari proyek tersebut untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS. Keputusan hengkang tersebut lantas membuat kelanjutan nasib proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terkatung-katung hingga saat ini.
(mfd/roy)

































