Bloomberg News
Bloomberg, China resmi memberlakukan tarif baru terhadap berbagai produk pertanian asal Amerika Serikat, menambah eskalasi dalam perang dagang yang terus berkembang antara dua ekonomi terbesar dunia.
Keputusan Beijing untuk menggunakan sektor pangan sebagai alat balasan terhadap AS—yang selama ini menjadi salah satu pemasok utamanya—menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan swasembada pangan serta dampak perlambatan ekonomi terhadap permintaan domestik.
Tarif baru ini berkisar antara 10% hingga 15% untuk berbagai produk seperti biji-bijian, protein, kapas, dan hasil pertanian segar. Langkah ini mengikuti kebijakan sebelumnya yang menargetkan sektor energi dan logam strategis. Selain itu, impor kedelai dari tiga perusahaan AS serta seluruh pembelian kayu dari Amerika telah dihentikan.
Dalam langkah terpisah pada Sabtu (08/03/2025), Beijing juga memberlakukan tarif balasan terhadap berbagai produk pertanian asal Kanada, yang akan mulai berlaku pada 20 Maret.

Menjamin kecukupan pangan bagi 1,4 miliar penduduk tetap menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah China. Meskipun negara ini masih menjadi pasar ekspor utama bagi negara bagian pertanian AS di Midwest—yang mayoritas dikuasai Partai Republik—upaya Beijing untuk merombak rantai pasokan sejak perang dagang pertama di era Trump telah melemahkan posisi tawar Washington.
Salah satu dampak dari pemulihan ekonomi China yang lebih lambat dari ekspektasi adalah melimpahnya pasokan pangan di dalam negeri. Akibatnya, pemerintah kini lebih fokus menangani masalah kelebihan pasokan, dengan harga gandum lokal turun ke level terendah dalam lima tahun serta impor jagung yang anjlok. Data terbaru yang dirilis pada Minggu (09/03/2025) juga menunjukkan China mengalami deflasi, yang sebagian besar dipicu oleh penurunan tajam harga pangan.
Sebagai respons, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk melindungi petani lokal. Pedagang diminta untuk membatasi impor biji-bijian seperti barley dan sorgum, sementara pengiriman kedelai terhambat akibat kebijakan penundaan impor.
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing semakin agresif dalam menyelidiki dan mengenakan tarif pada berbagai produk impor, termasuk rapeseed, kacang-kacangan, makanan laut, daging, dan produk susu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak terlalu khawatir dengan meningkatnya hambatan perdagangan, terutama untuk produk premium yang belakangan ini mengalami penurunan permintaan akibat penghematan belanja rumah tangga.
Di balik kebijakan ini, China tengah memanfaatkan periode surplus pangan untuk meningkatkan cadangan nasional. Dalam pertemuan tahunan legislatif yang akan berakhir pekan ini, pemerintah menaikkan target produksi pangan dan anggaran penyimpanan stok nasional.
Pemerintah juga mempromosikan langkah teknis seperti mengurangi penggunaan bungkil kedelai dalam pakan ternak, yang mencerminkan kekhawatiran berkelanjutan akan ketergantungan sektor peternakan terhadap kedelai impor.
Kedelai sendiri merupakan produk pertanian utama yang diekspor AS ke China, dengan nilai hampir US$13 miliar pada 2024. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, China telah mengurangi ketergantungannya pada AS dan beralih ke pemasok lain seperti Brasil.
Siklus panen global saat ini akan membuat Brasil menjadi pemasok utama kedelai China setidaknya hingga kuartal keempat tahun ini, sehingga tarif 10% pada kedelai AS diperkirakan tidak akan berdampak signifikan dalam beberapa bulan ke depan.
Tentu saja, Beijing tetap ingin menggerakkan ekonominya, dan salah satu langkah utama adalah mendorong konsumsi masyarakat. Jika pemerintah berhasil merangsang daya beli, harga pangan bisa kembali naik dan kebijakan impor mungkin akan berubah. Selain itu, dampak perubahan iklim terhadap hasil panen global juga dapat memengaruhi strategi perdagangan China.
Namun untuk saat ini, dengan menargetkan produk pertanian AS, Beijing sedang menggunakan salah satu senjata perdagangan yang paling berdampak namun berbiaya rendah dalam perang dagang ini.
(bbn)