“Dampak dari tarif AS yang lebih tinggi terhadap ekspor China kemungkinan baru akan terlihat bulan depan,” kata Zhiwei Zhang, Presiden dan Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management. “Meskipun sektor teknologi China tengah berkembang pesat, permintaan domestik masih lemah karena sektor properti belum pulih.”
Penurunan impor ini mencerminkan lemahnya permintaan dalam negeri dan mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi domestik China juga memengaruhi negara lain. Pembelian barang dari luar negeri oleh China mencapai titik terendah sejak 2020.
Pekan ini, pemerintah Beijing mengumumkan rencana untuk memperluas defisit anggaran dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tahun ini.
"Ekspor China yang lebih lemah dari perkiraan dalam dua bulan pertama 2025 merupakan pertanda buruk—dampak kenaikan tarif AS pada Februari dan melemahnya permintaan global tampaknya lebih besar dari ekspektasi kami bahwa percepatan pengiriman oleh importir AS akan menopang ekspor, setidaknya untuk sementara waktu. Penurunan impor yang tajam dan tak terduga menunjukkan ekonomi China masih lemah," kata Eric Zhu, ekonom Bloomberg Economics.
China sangat rentan terhadap risiko perang dagang global. Meskipun AS secara langsung hanya menyerap sekitar 15% ekspor China, banyak produk China yang masuk ke AS melalui negara lain seperti Vietnam dan Meksiko.
Jika AS terus menaikkan tarif, pertumbuhan ekonomi China bisa terpukul, mengingat ekspor menyumbang hampir sepertiga dari ekspansi ekonominya tahun lalu. Bahkan dengan tarif saat ini, kenaikan biaya yang diberlakukan Trump dapat memperlambat laju pertumbuhan ekspor China sepanjang tahun ini.
Lonjakan terbaru dalam pengiriman barang China ke AS menunjukkan bahwa ancaman tarif mendorong perusahaan di kedua negara untuk mempercepat masuknya barang ke Amerika sebelum biaya impor semakin meningkat di bawah kebijakan Trump.
Ekspor China ke AS naik hampir US$76 miliar dalam dua bulan pertama tahun ini—angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2022, ketika pandemi memicu lonjakan besar dalam perdagangan bilateral.
China merilis data perdagangan dalam periode dua bulan untuk menghindari distorsi akibat perbedaan jadwal libur Tahun Baru Imlek. Data perdagangan untuk masing-masing bulan akan dirilis kemudian.
(bbn)



























