Logo Bloomberg Technoz

Apabila pemerintah membutuhkan tambahan pemasukan negara dari devisa hasil ekspor, dia menyarankan agar kinerja ekspor CPO lebih diutamakan.

“Kalau butuh budget macam-macam, kenapa tidak dipikirkan itu yang lebih penting. Kita utamakan ekspor dahulu misalnya. Itu bukan kepentingan perusahaan, ini untuk kepentingan NKRI.”

Mencontoh Brasil

Eddy berpendapat pemerintah mesti mencontoh Brasil dalam menerapkan kebijakan biofuel. Negeri Samba dinilai berhasil dalam menyeimbangkan kebutuhan tebu untuk produksi etnaol dan bioetanol demi kebutuhan di dalam negeri, tanpa mengorbankan ekspor gulanya. 

Kenapa tidak seperti itu kita lakukan? Contoh sekarang harga minyak bumi dibandingkan dengan CPO itu bedanya cukup tinggi. Artinya, nanti insentif untuk diesel ini makin besar. Ini yang mesti dipikirkan, mana yang lebih menguntungkan untu knegara? Menurut saya, lebih bagus kita pikirkan untuk NKRI, kalau kita butuh, sekarang yang bisa kita utamakan adalah ekspor,” tegas Eddy.

Berdasarkan data terbaru Gapki, volume ekspor CPO dan produk turunannya pada Desember 2024 mencapai 2,06 juta ton, anjlok 21,88% secara month to month (mtm).

Secara kumulatif Januari—Desember 2024, volume ekspor CPO dan derivatifnya mencapai 29,53 juta ton, merosot dari 32,21 juta ton pada 2023. Nilai ekspor yang dicapai pada 2024 adalah US$27,76 miliar (Rp440 triliun), turun 8,44% dari US$30,32 (Rp463 trliun) tahun sebelumnya.

Total konsumsi domestik CPO dan produk turunannya sepanjang 2024 mencapai 23,85 juta ton, didominasi oleh biodiesel 11,44 juta ton; pangan 10,20 juta ton; dan oleokimia 2,20 juta ton.

Adapun, total produksi CPO dan turunannya tahun lalu sebanyak 52,76 juta ton, turun dari realisasi sebanyak 54,84 juta ton pada 2023.

Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memaparkan implementasi biodiesel B50—yang ditargetkan mulai berlaku pada 2026 — bakal memerlukan penambahan lahan sawit seluas 2,3 juta hektare (ha).

Nantinya, kata dia, pemerintah akan mengincar kebun masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan implementasi B50 sampai dengan B100.

“Nanti ini ada kebun-kebun masyarakat, ada kebun koperasi yang mungkin ini bisa kita dorong bagaimana pemenuhan untuk kebutuhan implementasi dari biodiesel sampai dengan B100,” tutur Yuliot usai rapat bersama DPD RI, akhir Februari.

Yuliot memaparkan implementasi B40 memerlukan produksi biofuel sebanyak 15,62 juta kiloliter (kl), sehingga membutuhkan kelapa sawit sebanyak 14,3 juta ton. Sementara itu, B50 memerlukan produksi 19,73 juta kl, dengan kebutuhan kelapa sawit 17,9 juta ton, dan tambahan lahan seluas 2,3 juta ha.

Kemudian, B60 membutuhkan produksi biofuel 19,73 kl, kebutuhan sawit 21,5 juta ton, dan penambahan lahan 3,5 juta ha. Adapun, B100 memerlukan produksi biofuel 39,45 juta kl, sawit 35,9 juta ton, dan penambahan lahan 4,6 juta ha.

-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages