Logo Bloomberg Technoz

Malaysia, yang bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, telah didorong untuk menjadi pusat CCS/CCUS regional, dengan harapan industri tersebut akan berfungsi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Pemerintah setempat awalnya memperkirakan sektor yang masih baru ini akan menambah hingga US$250 miliar bagi ekonominya dalam waktu 30 tahun, meskipun jumlah itu mungkin turun dengan pengecualian Sabah dan Sarawak.

"RUU CCS ini diharapkan menjadi titik awal bagi Malaysia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, sehingga memperkuat posisi negara sebagai pemimpin dalam teknologi rendah karbon di kawasan ini," kata Rafizi dalam pernyataan tersebut.

Malaysia akan segera memulai penyimpanan karbon dioksida permanen di wilayah lepas pantai, dan Kementerian Ekonomi akan melakukan studi kelayakan untuk penyimpanan di darat tahun ini, menurut Rafizi.

RUU tersebut menekankan bahwa operator lokasi penyimpanan bertanggung jawab atas perlindungan lingkungan dan pengelolaan risiko lainnya.

Ambisi Indonesia

Tidak mau kalah klaim dari Malaysia, Indonesia juga percaya diri bakal menjadi superpower industri CCS, tidak hanya di tingkat regional tetapi juga dunia. 

Utusan Khusus Presiden RI Prabowo Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyatakan Indonesia akan menjadi negara superpower dalam hal teknologi CCS, salah satunya melalui hilirisasi batu bara.

Hasyim mengatakan pemerintah akan memberikan peluang pengembangan CCS bagi industri batu bara. Nantinya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis energi fosil akan menangkap karbon yang berasal dari CCS.

“Bahkan, Indonesia akan jadi superpower di bidang CCS, karena rongga atau kapasitas Indonesia di bawah tanah luar biasa banyak dan besar,” kata Hasyim dalam acara CNBC Economic Outlook 2025, pekan lalu.

Daftar Proyek CCS/CCUS Indonesia (Bloomberg Technoz/Asfahan)

Adik kandung Presiden Prabowo Subianto itu menyebut, selain dari hilirisasi batu bara, terdapat proyek CCS yang akan dibangun ExxonMobil sebesar 3 gigawatt (GW) yang berlokasi 100 kilometer dari Pantai Utara Banten. 

Hasyim menggarisbawahi bahwa komoditas batu bara belum akan habis dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan, dia menepis kabar batu bara tidak boleh lagi digunakan karena haram. 

“Saya beda pendapat, karena ada teknologi. Ada namanya CCS, saya belajar, saya pelajar, saya juga masih belajar, mahasiswa. Guru saya siapa? Chief Exxon, BP, banyak jadi guru saya,” imbuhnya.

Sebelumnya, pemerintah dan ExxonMobil resmi menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk rencana investasi US$10 miliar (atau setara Rp162,8 triliun) di Indonesia.  Adapun, investasi ini bakal digelontorkan untuk membangun fasilitas untuk CCS dan industri petrokimia di Indonesia.

"Proyek ini memiliki nilai strategis yang besar dengan estimasi US$10 miliar. Ini tentu mendukung kebijakan hilirisasi dari Presiden [Prabowo Subianto], menciptakan lapangan pekerjaan dan komitmen kepada keberlanjutan," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Airlangga mengatakan fasilitas CCS yang diinvestasikan oleh ExxonMobil bisa mengurangi emisi CO2 sebesar 90% dan harapannya menjadi fasilitas yang beroperasi pertama kali di Indonesia.

Masuk RUKN

Untuk mencapai ambisi menjadi hub CCS, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan telah memasukan penerapan teknologi tangkap-simpan karbon di PLTU ke dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). 

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan penggunaan teknologi CCS di PLTU batu bara sudah bisa dimulai tahun ini.

“Jadi penggunaan carbon capture storage itu sudah bisa dimulai tahun sekarang. PLTU batu bara ditambah carbon capture, dan itu memang ada di RUKN. Regulasi kita sudah muncul," kata Eniya akhir Januari.

Eniya menuturkan dalam RUKN tersebut juga sudah terdapat peta jalan untuk pelaksanaan CCS di PLTU batu bara. Dengan demikian, Indonesia dapat tetap menggunakan PLTU batu bara dengan mengurangi emisi yang dihasilkan. 

"Jadi penggunaan energi yang berdasarkan batu bara terus di carbon capture itu masuk ke dalam peta RUKN kita," ujarnya.

Teknologi penangkapan karbon menyedot gas rumah kaca dari atmosfer dan menguburnya di bawah tanah atau di bawah laut selamanya, secara teori menetralkan dampaknya terhadap iklim.

Para pendukung mengatakan teknologi tersebut harus digunakan bersama dengan teknologi ramah iklim lainnya seperti energi terbarukan, tetapi para kritikus mengatakan CCS/CCUS memungkinkan terjadinya polusi pada saat perusahaan dan negara seharusnya mengurangi emisi di sumbernya.

(wdh)

No more pages