Logo Bloomberg Technoz

Tony menggarisbawahi alasan Freeport ingin memperpanjang ekspor adalah karena fasilitas smelter belum bisa beroperasi maksimal. Walhasil, konsentrat tembaga yang menumpuk di gudang Freeport di Mimika tidak bisa diolah di dalam negeri. 

Di sisi lain, pasar untuk memasok emas batangan di Indonesia juga masih minim. Tony juga mengaku lebih untung menjual konsentrat ke dalam negeri karena harganya yang sama dengan ekspor.

“Kalau ada pasar dalam negeri tentu saja kami lebih senang memasok ke dalam negeri. Kenapa? Karena harganya juga sama [dengan harga ekspor],” ujarnya.

“Jadi dengan kata lain, modusnya atau motifnya untuk kemudian kami bakar [smelter] sendiri supaya kami boleh ekspor; tidak ada untungnya kami ekspor. Kalau di dalam negeri ada smelter-nya lebih bagus diproses di dalam negeri. Lebih murah, lebih cepat, dan lebih baik bagi bangsa ini.”

Nilai Tambah

Dalam sebuah sesi diskusi pada Desember tahun lalu, Tony pernah mengungkapkan masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas dari upaya hilirisasi sektor pertambangan tembaga di Indonesia, khususnya dari aspek serapan pasar di dalam negeri.

Pada saat penambang dituntut oleh pemerintah untuk menggenjot investasi di lini hilir, Tony menilai kesiapan industri domestik dalam menyerap produk yang dihasilkan oleh pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter masih belum cukup agresif.

Ilustrasi PT Freeport Indonesia (Dok. PT Freeport Indonesia)

Dia mencontohkan kasus yang dialami langsung oleh Freeport, di mana perseroan diminta untuk membangun smelter tembaga pertama pada 1997 melalui PT Smelting, melalui kerja sama dengan Mitsubishi Corp, untuk menghasilkan konsentrat.

Kemudian, Freeport diminta lagi untuk membangun smelter katoda tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur senilai Rp56 triliun untuk mengolah konsentrat menjadi katoda. Jaraknya hanya berselang 10 km dari smelter terdahulu.

“Artinya, itu telah terjadi dua kali ekspansi, sehingga saat ini kapasitas input-nya 1,3 juta ton konsentrat [tembaga], dan kapasitas output-nya 330.000 ton katoda tembaga. Sejak kira-kira 10 tahun yang lalu, itu 50%-nya masih diekspor,” ujar Tony di agenda Indonesia Mining Summit, Rabu (4/12/2024).

Saat kapasitas output katoda tembaga Freeport akhirnya dinaikkan untuk bisa mencapai 600.000 ton per tahun, lanjut Tony, industri di dalam negeri belum siap untuk menyerap produksi tersebut.

“Karena yang sudah ada sekarang saja belum diserap, apalagi yang baru. Jadi memang PR kita bersama agar hilirisasi dari tambang, dari perusahaan tambang ini kan sampai 99,9%, kemudian dari situ bisa diserap ke manufaktur,” ujarnya.

Lebih lanjut, Tony menjelaskan saat ini di kawasan industri JIIPE—lokasi smelter katoda tembaga Freeport berada — sebenarnya sudah ada satu pabrik foil tembaga yang mampu menyerap 100.000 ton katoda yang dihasilkan smelter Manyar.

Pabrik foil tembaga PT Hailiang di Manyar itu diklaim menjadi terbesar di Asia Tenggara. Pabrik tersebut digunakan sebagai pengumpul arus listrik di kutub negatif (anoda) baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Pabrik ini memproduksi foil tembaga electrodeposit untuk kendaraan listrik bertenaga baterai litium.

Permasalahannya, daya serap pabrik tersebut hanya mencakup seperenam dari total produksi katoda yang dihasilkan dari smelter Freeport.

“Jadi kalau kami akan produksi 600.000 ton [katoda], ya kami perlu kira-kira 6 perusahaan seperti itulah yang bisa mengonsumsi produk katoda tembaga kami, supaya betul-betul yang dikatakan ekosistem dari hilirisasi itu hidup. Terutama perusahaan yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik,” kata Tony.

(wdh)

No more pages