Logo Bloomberg Technoz

Fabby menjelaskan dalam kesepakatan konferensi iklim perserikatan bangsa-bangsa atau COP 26 sudah disepakati soal komitmen pensiun dini PLTU oleh negara-negara dunia. Komitmen itu kemudian diperkuat dalam pergelaran COP 28.

“Memang ada salah satu keputusan yang selain tripling renewable energy dan doubling energy efficiency 2030, dia juga mengatakan memang untuk 'transition away' bahasanya itu,” ujarnya.

Dalam kaitan itu, Fabby mengatakan Pemerintah Indonesia harus memahami ada konsekuensi yang akan terjadi jika RI tidak segera mengupayakan transisi energi. Konsekuensi itu seperti kenaikan temperatur global, krisis iklim, hingga cuaca ekstrem.

Kondisi itu, menurutnya, akan berdampak pada ekonominya yang cukup tinggi sehingga mengharuskan seluruh dunia untuk melakukan transisi energi dan dekarbonisasi.

“Pernyataan Pak Menteri [Bahlil] yang seakan-akan kalau saya menangkap bahwa agenda transisi energi di Indonesia itu disetir asing itu sama sekali tidak tepat,” ucapnya. 

Transisi energi ramah lingkungan negara-negara di dunia. (Sumber: Bloomberg)

Amanat UU

Di sisi lain, tambah Fabby, transisi energi sejatinya telah diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025—2045. RPJPN menjadi acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan program-programnya. Dalam beleid tersebut, target bauran energi baru terbarukan pada 2045 mencapai 70%.

“Jauh lebih tinggi dan lebih cepat daripada target Kebijakan Energi Nasional [KEN] yang pekan lalu disepakati ulang drafnya oleh DPR dan pemerintah, yang Pak Bahlil presentasi di DPR. Sudah disepakati dan sekarang sedang dalam proses pengundangan di Setneg untuk ditandatangani oleh Presiden karena PP,” ucapnya.

Komisi XII DPR bersama pemerintah awal bulan ini telah menyetujui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN dengan menargetkan penggunaan bauran EBT minimal 60%—70% pada periode 2025—2040.

“Jadi kalau kita lihat sebenarnya agenda transisi energi yang menitikberatkan pada peningkatan energi terbarukan itu adalah amanat undang-undang,” tegas Fabby.

Dia juga menekankan transisi energi dalam RPJPN merupakan 1 dari 13 transformasi super prioritas yang ada dalam dokumen tersebut. Prioritas yang harus dilakukan dalam 20 tahun ke depan.

Untuk bertransformasi sistem energi baru terbarukan tidak bisa terjadi dalam semalam, lanjut Fabby. Di sisi lain, upaya mengembangkan transisi energi harus terus digenjot karena sumber daya energi fosil kian hari makin menipis.

“Lihatlah minyak hari ini menyusul nanti gas dan batu bara. Mereka akan habis dalam waktu yang enggak terlalu lama sebenarnya. Dengan demikian, untuk membangun energy security, keamanan pasokan energi pada masa depan, ya itu kita memang harus mulai meninggalkan secara bertahap,” ungkap Fabby.

“Sehingga jangan lagi ada statement bilang ada kegalauan Indonesia tentang transisi energi. Enggak dong. Orang itu amanat undang-undang kok galau. Kan harus tetap dilaksanakan.”

Baru-baru ini, Bahlil mengeluarkan pernyataan bahwa energi fosil masih memiliki prospek yang baik setelah sempat dikejar-kejar tuntutan pemadaman PLTU dari pihak-pihak pro-transisi energi.

“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, Selasa (11/2/2025).

“Tadinya dalam RUPTL 2025—2034, saya tidak lagi menyusun [pembangkit] batu bara, tidak lebih dari 7%; itu pun yang sudah berkontrak. Akan tetapi, dengan keluarnya AS dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika saja keluar kok, [padahal] dia yang membuat; apalagi Indonesia cuma ikut-ikutan. So?”

Bahlil meyakinkan bahwa baseline kelistrikan Indonesia berbeda dengan negara-negara maju, yang selama ini getol menyerukan transisi energi. Negara maju memiliki modal dan teknologi yang lebih mumpuni untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).

“Negara kita belum coy, masih butuh penyesuaian. Nah kalau ada barang ada yang lebih murah, kenapa harus cari yang mahal? Saya pakai logika akal sehat aja,” tuturnya.

Bagaimanapun, Bahlil menegaskan Indonesia akan tetap mendorong EBT sebagai bagian terpenting dari sebuah implementasi konsensus Net Zero Emission pada 2060.

Akan tetapi, dia menolak jika upaya transisi energi dan pengembangan EBT di Indonesia diintervensi sesuai target yang diinginkan negara maju.

“Kita orang Indonesia, jangan ajarkan kami komitmen, karena hutan-hutan kami ini masih banyak sekali. Kami itu penyuplai CO2 itu 3 ton per kapita. Kalau yang lain sudah ada yang lebih dari 10, 20, 30 ton per kapita karena hutannya sudah ditebang duluan, habis duluan,” ujar Bahlil.

“Pada saat mereka [negara maju] tebang hutannya, tidak ada yang protes mereka. Begitu sudah selesai, mereka mulai intercept negara-negara berkembang agar tidak boleh menebang hutannya. Oke, kami jaga hutan kami, tetapi kalian yang hutannya sudah habis ini bayar karbon kami juga dengan baik dong. Jangan mau bayar kami murah, kalian mau mahal. Begitu kita tanya kenapa harga kami lebih murah, kalian lebih mahal, katanya investasinya di sana lebih mahal di sana. Ya kalau gitu kita selesaikan dahulu hutan kita, kan kira-kira begitu logikanya.”

(mfd/wdh)

No more pages