Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Isa berperan mengetahui dan menyetujui pembuatan saving plan Jiwasraya, yang dilakukan ketika perusahaan tersebut dalam kondisi insolvent atau tidak sehat.
Kala itu, terpidana kasus Jiwasraya yang juga menjabat sebagai salah satu direksi; yakni Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan tengah mencari solusi untuk menutupi kerugian yang dialami Jiwasraya. Salah satunya, mereka berencana menerbitkan produk JS Saving Plan yang mengandung unsur investasi dengan bunga 9%-13%, yakni diatas suku bunga Bank Indonesia (BI) yang kala itu di angka 7,50%-8,75%.
“Di mana untuk memasarkannya sebagai produk asuransi harus mendapatkan persetujuan dari Bapepam-LK dan berdasarkan Pasal 6 KMK Nomor: 422/KMK.06/2023 tanggal 30 September 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yaitu pada pokoknya perusahaan perasuransian tidak boleh dalam keadaan insolvensi,” kata Abdul, dikutip melalui keterangan tertulisnya, Jumat (7/2/2025).
Dia mengatakan, keputusan Isa untuk menyetujui penerbitan saving plan dilakukan ketika kondisi keuangan Jiwasraya tidak memungkinkan untuk membayar utang atau kewajiban keuangannya pada tepat waktu.
“Padahal Tersangka IR tahu kondisi PT AJS saat itu dalam keadaan insolvensi,” ujar Abdul Qohar.
Lebih lanjut, pemasaran produk saving plan dengan struktur bunga dan imbal hasil yang tinggi kepada pemegang polis justru membebankan Jiwasraya karena tidak dapat diimbangi dengan hasil investasi yang ditawarkan.
Hasil investasi yang dimaksud yakni, saving plan memberikan masa manfaat asuransi jiwa 5 tahun dengan periode investasi 1 tahun yang dapat diperpanjang atau dicairkan pada tahun kedua hingga tahun kelima; dan saving plan memberikan garansi bunga pengembangan yang terlalu tinggi selama 1 tahun periode investasi.
Serta, terdapat biaya berupa fee-based income bagi bank mitra yang melakukan penjualan produk saving plan, sales program bagi para tenaga pemasar yang bekerja di bank mitra, dan insentif bagi pemegang polis yang membeli produk Saving Plan.
Kejaksaan menilai total perolehan premi dan produk JS saving plan yang diterima Jiwasraya pada periode 2014-2017 tercatat sebesar Rp47,8 triliun. Dana tersebut, lanjut Abdul, ditempatkan Henrisman, Hary, dan Syahmirwan pada instrumen saham dan reksadana yang dilakukan tanpa prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan manajemen risiko investasi.
“Di mana dari penelusuran transaksi investasi saham dan reksadana tersebut diketahui terdapat transaksi yang tidak wajar terhadap beberapa saham antara lain: IIKP, SMRU, TRAM, LCGP, MYRX, SMBR, BJBR, PPRO dan beberapa saham lainnya yang dilakukan baik secara langsung maupun melalui Manajer Investasi yang mengelola reksadana,” ujar Abdul.
Akibat praktik tersebut, terjadi penurunan nilai portofolio aset investasi saham dan reksadana yang mengakibatkan kerugian bagi Jiwasraya. Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), negara dirugikan sekitar Rp16,8 triliun akibat perkara Jiwasraya.
(dov/spt)































