Sedangkan yen dan baht masih menguat terbatas, masing-masing 0,03% dan 0,01%.
Lanskap ini memberikan gambaran bahwa rupiah masih memiliki peluang penguatan walau mungkin cenderung terbatas dengan para traders akan cenderung berhati-hati jelang rilis data nonfarm payroll AS pada Jumat nanti.
Sementara dari dalam negeri, laporan kinerja ekonomi tahun 2024 memperpanjang kekhawatiran terhadap stagnasi ekonomi domestik. Pertumbuhan di angka 5,03%, di bawah target Pemerintah RI sebesar 5,2%, menyodorkan fakta bahwa mesin utama perekonomian Indonesia masih belum mampu kembali ke kondisi sebelum Pandemi Covid-19.
Stagnasi ekonomi yang kian panjang, menjadi tantangan besar bagi Pemerintahan Prabowo Subianto yang berambisi mengejar growth 8% dalam lima tahun pemerintahannya.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren penguatan hari ini, dengan target resistance potensial menuju Rp16.250/US$ hingga Rp16.220/US$. Level resistance selanjutnya menarik dicermati pada Rp16.200/US$, yang saat ini makin mendekati resistance psikologis potensial.
Rupiah terkonfirmasi memiliki resistance potensial terdekat di Rp16.150/US$, tercermin dari time frame daily dengan keberhasilan break resistance pertama sebelumnya.
Sementara itu, nilai rupiah juga terkonfirmasi memiliki level support di Rp16.300/US$ dari posisi saat ini, dengan kisaran support antara Rp16.350 sampai dengan Rp16.400/US$.
Sinyal The Fed dan Bessent
Para pelaku pasar juga mencermati pernyataan para pejabat Federal Reserve, bank sentral AS, yang memperingatkan akan risiko inflasi dari kebijakan Trump.
Gubernur Federal Reserve Bank of Chicago, Austan Goolsbee, memperingatkan bahwa tarif dagang yang tinggi dan berlangsung lama dapat mengganggu rantai pasokan serta mendorong kenaikan inflasi.
Goolsbee menekankan bahwa tarif tidak bisa dianggap sebagai faktor yang tidak berkontribusi terhadap inflasi. Ia mengingatkan pelajaran dari pandemi Covid-19, di mana gangguan rantai pasokan menjadi pemicu utama lonjakan inflasi dan memanaskan ekonomi secara berlebihan.
"Jika kita melihat inflasi kembali meningkat atau stagnan pada 2025, The Fed akan menghadapi dilema: apakah inflasi disebabkan oleh overheating ekonomi atau oleh tarif dagang," kata Goolsbee. "Membedakan penyebabnya akan sangat penting dalam menentukan kapan, atau bahkan apakah, The Fed perlu mengambil tindakan."
Pada bagian lain, Menteri Keuangan AS Scott Bessent, menyatakan bahwa pemerintahan Trump lebih berfokus pada imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun dalam upaya menurunkan biaya pinjaman, dibandingkan dengan suku bunga acuan jangka pendek yang ditetapkan oleh bank sentral AS atau The Fed
"Dia dan saya fokus pada imbal hasil obligasi 10 tahun," kata Bessent dalam wawancara dengan Fox Business pada Rabu (5/02/2025), ketika ditanya apakah Presiden Donald Trump menginginkan suku bunga lebih rendah. "Dia tidak meminta The Fed untuk menurunkan suku bunga."
Bessent kembali menekankan pandangannya bahwa peningkatan pasokan energi akan membantu menekan inflasi. Ia menyebut bahwa bagi masyarakat kelas pekerja, komponen energi menjadi salah satu indikator utama dalam ekspektasi inflasi jangka panjang.
"Jika kita bisa menurunkan harga bensin dan minyak pemanas, maka para konsumen tidak hanya akan menghemat uang, tetapi juga akan memiliki optimisme untuk masa depan," ujar Bessent. Menurutnya, hal ini akan membantu mereka pulih dari dampak inflasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
(rui)





























