Logo Bloomberg Technoz

Capaian kinerja pada 2024 di mana laju PDB berkutat di kisaran 5%, juga mempertegas terjadinya stagnasi sekuler dalam perekonomian Indonesia. Stagnasi sekuler merupakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh signifikan atau bahkan tidak tumbuh sama sekali dalam jangka waktu yang lama.

Istilah stagnasi sekuler pertama dikemukakan oleh Alvin Hansen pada 1938, menggambarkan yang dikhawatirkan sebagai nasib ekonomi Amerika Serikat setelah periode Depresi Hebat pada awal tahun 1930-an silam.

Tanpa adanya transformasi struktural dalam waktu dekat, besar kemungkinan perekonomian Indonesia akan terus mengandalkan faktor musiman untuk tumbuh dan berpotensi butuh dorongan lebih besar hanya untuk tetap bisa tumbuh 5%.

Kelesuan sektor manufaktur di Indonesia yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa terakhir adalah salah satu sebab utama, mengapa terjadi penurunan kesejahteraan mayoritas masyarakat.

Sebanyak 9,5 juta kelas menengah turun kelas jadi calon kelas menengah. Lalu, sebanyak 12,72 juta orang calon kelas menengah terlempar menjadi kelompok rentan miskin.

Kemerosotan kesejahteraan pada akhirnya menyeret kinerja konsumsi yang menjadi motor utama perekonomian.

"Performa sektor manufaktur yang terus menurun kita lihat sebagai pangkal masalah mengapa daya beli masyarakat ikut menurun. Kemampuan industri manufaktur menyerap tenaga kerja turun, produktivitas turun sehingga tingkat upah turun. Hal itu yang membuat kelas menengah yang bekerja di sektor tersebut jadi tidak produktif bahkan sebagian sudah berpindah ke sektor informal," jelas Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Tantangan 2025

Pada tahun ini, Pemerintah RI di bawah Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%, tak berubah dibanding target tahun 2024 di angka yang sama dan ternyata meleset cukup jauh. 

Prabowo yang berambisi membawa ekonomi tumbuh 8% dalam periode kepemimpinannya hingga 2029, semakin diragukan untuk bisa mewujudkan target tersebut. Itu terutama karena sejauh ini tidak terlihat ada perencanaan konkret dari pemerintahan baru untuk menyelesaikan isu produktivitas perekonomian. Pemerintah tidak terlihat berupaya menemukan sumber pertumbuhan baru yang bisa mendorong ekonomi lebih laju.

"Belum terlihat adanya perencanaan yang konkret oleh pemerintahan baru dalam mengatasi masalah produktivitas. Indonesia mungkin harus terus bergantung pada faktor musiman untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan masih akan dalam kondisi normalnya seperti saat ini, dan tumbuh sebesar 5,0% hingga 5,1%," kata Tim Ekonom LPEM Universitas Indonesia dalam kajian yang dilansir hari ini.

Presiden Prabowo Subianto menberikan keterangan pers di Pangkalan TNI AU, Halim Perdanakusuma, Kamis (23/1/2025). (Youtube Setpres)

Padahal, tahun ini tantangannya tidaklah kecil dalam konteks global. Pecah Perang Dagang 2.0 yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump bisa berdampak pada perlambatan ekonomi global dan bertahannya rezim higher for longer yang membuat pendanaan akan terus mahal. Artinya, ada risiko pertumbuhan tahun ini terjegal lebih kecil.

Bank Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun dari semula di kisaran 4,8%-5,6% dengan titik tengah 5,2%, menjadi kisaran 4,7%-5,5% dengan median 5,1%.

Ada risiko pula dari menguatnya politik dumping, sebagai imbas pembatasan ekspor China ke AS. Makin banjirnya barang murah bikinan China di pasar domestik, bisa semakin membebani industri dalam negeri.

Itu sudah terjadi sejak Perang Dagang 1.0 di mana pasar domestik dibanjiri produk murah China yang telah menelan banyak korban industri tekstil dan alas kaki di Indonesia yang berguguran. 

"Ada risiko lebih besar yaitu ancaman bagi industri lokal yang pada akhirnya mengancam lapangan kerja," kata Tamara Henderson, Ekonom Bloomberg Economics.

Sebagai catatan, Tiongkok adalah negara penyumbang defisit dagang terdalam Indonesia pada 2024. Nilai defisit dagang RI dengan China tahun lalu mencapai US$ 11,40 miliar. 

Nilai impor nonmigas Indonesia dari China pada tahun lalu mencapai US$ 71,63 miliar. Naik dibanding tahun sebelumnya US$ 62,18 miliar.

Dalam paparan Badan Pusat Statistik hari ini, terlihat bahwa kendati konsumsi rumah tangga dan PMTB mencatat pertumbuhan lebih baik dibanding tahun lalu, laju PDB tetap tertahan lebih kecil.

"Komponen yang menahan pertumbuhan adalah dari nett export. Tetap [tumbuh] positif tapi nilainya lebih kecil dibanding 2023 sehingga sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi jadi negatif -0,21%," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti

Pada 2024, laju ekspor RI tercatat tumbuh positif 6,51% dibanding 2023. Namun, pada saat yang sama, impor tumbuh lebih tinggi yaitu mencapai 7,95% year-on-year. Alhasil, sumber pertumbuhan dari nett export mencatat negatif 0,21% dibandingkan 2023 yang masih positif 0,66%.

(rui/aji)

No more pages