Penyidik KPK, kata dia, memang menemukan bukti seluruh dana CSR tersebut tak ada yang dikirimkan ke rekening pribadi anggota DPR. Seluruh dana tersebut mengalir ke daftar yayasan yang diusulkan kepada BI dan OJK.
Akan tetapi, menurut Asep, pada beberapa transaksi dana CSR tersebut kemudian diputar dari yayasan hingga berujung ke rekening pribadi atau institusi yang berkaitan dengan anggota DPR.
"Ada yang kemudian pindah dulu ke beberapa rekening yang lain. Dari situ nyebar tapi kemudian ngumpul lagi ke rekening yang bisa dibilang itu representasi daripada penyelenggara negara ini," ujar dia.
Beberapa dana CSR tersebut kemudian berganti wujud menjadi aset lainnya mulai dari bangunan hingga kendaraan. "Jadi, disitu penyimpangannya, tidak sesuai dengan peruntukannya," kata Asep.
Modus lainnya, ujar dia, dana CSR memang digunakan untuk sejumlah kegiatan sosial seperti renovasi rutilahu (rumah tidak layak huni); dana pendidikan atau beasiswa; layanan kesehatan, dan lainnya. Akan tetapi, jumlah penggunaan dana tersebut tak sesuai dengan kesepakatan dengan BI atau OK.
Misalnya, kata Asep, para pelaku memanipulasi laporan penggunaan dana CSR dengan tak menuliskan tanggal kegiatan sosial, dan foto-foto bukti kegiatan juga diakali dengan mengambil beberapa angle berbeda. Semuanya dilakukan untuk membuat seolah telah dilaksakan kegiatan sosial sebanyak kesepakatan yang dilakukan.
"Ilustrasi saja. [dana CSR] untuk renovasi 10 rutilahu. Ternyata, dia buat hanya tiga rutilahu. Saat peresmiannya bannernya enggak pakai tanggal dan difoto dari berbagai macam sudut," ujar Asep.
"Nah ini dipertanggungjawabkan [diklaim] renovasi 10 rutilahu, padahal cuma tiga. Itu sudah kita temukan di beberapa tempat."
(azr/frg)