Apalagi, kata Mutya, dari total kapasitas PLTU sebesar 50 GW, sebanyak 22 GW di antaranya dimiliki oleh PLN. Sebanyak 23% di antaranya telah beroperasi lebih dari 25 tahun.
“Karena terjadi kelebihan pasokan, PLTU yang dimiliki PLN juga tidak dioperasikan penuh. Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80%. Namun, pada 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa—Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59% dan di Sumatra hanya 53%,” ujar Mutya dalam keterangan tertulis dikutip Selasa (17/12/2024).
Mutya mengungkapkan empat PLTU dengan total 4,6 GW masuk dalam kriteria tersebut a.l. PLTU Suralaya Unit 1-7 berkapasitas 3,4 GW; Bukit Asam Unit 1-4 260 MW; Paiton Unit 1-2 800 MW; dan Ombilin Unit 1-2 200 MW.
Dari keempat PLTU tersebut, PLTU Suralaya Unit-1 telah beroperasi sejak 1985 sementara yang paling muda yaitu PLTU Suralaya Unit-7 yang beroperasi sejak 1997.
“Pernyataan Pemerintah Indonesia di G20 dan COP29 menjadi langkah signifikan untuk mengatasi krisis iklim dan bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam peraturan perundangan dan regulasi agar PLN dapat merencanakan langkah berikutnya dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dibandingkan energi fosil,” tutur Mutya.
Sebelumnya, DPR RI menyatakan rencana penutupan PLTU berbasis batu bara tidak akan berhasil jika payung hukum Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) atau power purchase agreement (PPA) tidak dibenahi oleh pemerintah.
Dengan demikian, upaya mendukung komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk beralih dari pembangkit batu bara menuju pembangkit berbasis EBT dalam tempo 15 tahun ke depan rentan berujung sekadar wacana karena sulit direalisasikan.
“Peraturannya belum ada, memang betul peraturannya belum ada. Jadi sampai saat ini belum ada yang berani untuk membahas kembali perjanjian PPA dan itu kan artinya kita harus memangkas PPA dan banyak di antara PLTU batu bara kita itu usianya masih 20—25 tahun. Masih panjang,” kata anggota Komisi XII DPR Eddy Soeparno dalam kegiatan Hilir Migas Conference, Expo & Award, medio pekan lalu.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu mengakui memang masih banyak PLTU di Indonesia yang sudah berusia lanjut, inefisien, bahkan sangat merusak lingkungan hidup. Untuk itu, pemerintah perlu serius membahas pemadaman PLTU demi target yang diinginkan Prabowo untuk swasembada energi.
“Sepanjang aturannya ada, tentu kan ini adalah inisiatif eksekutif [pemerintah] ya. Kami di DPR [legislatif], tentu akan mendukung dan mendorong. Akan tetapi, kalau memang eksekutif bisa mengeluarkan peraturan tersebut, dan memang ada peluang bagi kita untuk melakukan renegosiasi PPA, saya kira itu merupakan hal yang sangat dibutuhkan saat ini,” jelas Eddy.
(mfd/wdh)