Logo Bloomberg Technoz

“Iya [krisis Boeing] sudah berdampak ke Indonesia dengan berkurangnya jumlah pesawat, terutama untuk pesawat yang siap beroperasi. Jika sebelum pandemi jumlahnya bisa mencapai 700-an pesawat, sekarang tinggal 400-an pesawat yang siap beroperasi,” ujar Gatot saat dihubungi Bloomberg Technoz, Senin (18/3/2024).

Belum lagi, lanjut Gatot, sekitar 400 pesawat yang tersedia di Indonesia saat ini memiliki umur perawatan yang tergantung dengan jenis pesawat dan frekuensi pemakaian yang termasuk dalam siklus hidup (life cycle) pesawat.

Jika penggantian suku cadang harus dilakukan, kata Gatot, perawatan tentu akan memakan waktu lebih lama karena jumlah suku cadang pesawat sudah makin berkurang. Walhasil, jumlah pesawat yang siap terbang atau dioperasikan (airworthy) berpotensi bakal kian berkurang. 

Pesawat Boeing 737 Max 8 di luar fasilitas manufaktur di Renton, Washington, AS, Minggu (7/1/2024). (David Ryder/Bloomberg)


Atur Harga dan Rute

Sebagai konsekuensi, Gatot menyebut, tidak menutup kemungkinan maskapai di Indonesia bakal melakukan pengaturan harga dan pemangkasan rute.

Namun, dia mengatakan pengaturan harga bakal dilakukan dalam koridor tarif pesawat berupa tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) yang telah ditetapkan pemerintah dalam Keputusan Menteri Perhubungan KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Dalam kaitan itu, maskapai berpotensi bakal menerapkan dua jenis skenario dalam pengaturan harga tiket pesawat.

Pertama, maskapai bakal mematok harga sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kecuali pada rute-rute sepi yang harus memiliki jadwal penerbangan. Hal ini pun sudah diterapkan maskapai pada masa Angkutan Lebaran 2024. 

“Misalnya untuk masa Lebaran ini, mereka jual mahal untuk tiket dari Jakarta ke kota lain, tetapi jual murah dari kota lain ke Jakarta. Hal ini dilakukan karena penumpangnya tidak ada dan pesawat tetap harus kembali ke Jakarta,” ujarnya.

Kedua, maskapai bakal mematok harga tiket pesawat sesuai dengan TBA yang berlaku, tetapi bakal mengurangi kualitas atau layanan yang diberikan. Misalnya, pendingin ruangan atau air conditioning (AC) yang tidak bakal digunakan pada saat masih di darat.

Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah maskapai bakal menurunkan biaya keselamatan demi bisa menjual tiket sesuai dengan TBA yang telah ditetapkan.

“Harus diwaspadai itu penurunan biaya keselamatan. Ini tidak boleh dilakukan karena keselamatan penerbangan itu wajib dilaksanakan. Untuk mencegah hal ini, pengawasan dari pemerintah harus lebih ditingkatkan,” ujarnya.

Ilustrasi Lion Air. (Dimas Ardian/Bloomberg)


Berbeda pendapat,  Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menilai krisis yang terjadi pada Boeing, yang berpangkal dari insiden terlepasnya pintu darurat (emergency door) milik Alaska Airlines dengan tipe 737-9 Max, sebenarnya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja maskapai di Indonesia secara umum.

Sekretaris Jenderal INACA Bayu Sutanto mengatakan tipe Boeing 737-9 di Indonesia hanya dioperasikan oleh Lion Group, tetapi memiliki tipe pintu yang berbeda dengan milik Alaska Airlines.

Selain itu, mayoritas maskapai di Indonesia saat ini juga masih mengoperasikan pesawat tipe A320 milik Airbus. Sementara itu, tipe Boeing yang beroperasi adalah tipe 737 Classic atau 737 NG.

“Menurut saya, saat ini kejadian masalah di pesawat Boeing 737-9 max tersebut belum memengaruhi kinerja maskapai-maskapai [nasional secara umum]. Sebab, pesawat Boeing yang beroperasi masih tipe 737 Classic ataupun 737 NG,” ujar Bayu saat dihubungi Bloomberg Technoz, akhir pekan lalu.

Namun, Bayu mengatakan Lion Group menjadi maskapai yang melakukan pemesanan Boeing 737-9 Max tersebut. Ke depannya, grup maskapai tersebut tentu harus hati-hati dengan potensi waktu pengiriman yang tertunda. Pihak Lion belum memberikan respons atas permintaan tanggapan.

Krisis kepercayaan terhadap Boeing Co makin meluas di industri maskapai penerbangan dunia yang membeli pesawat jet dari pabrikan AS itu.

Pekan lalu, maskapai raksasa global —mulai dari United Airlines Holdings Inc hingga Southwest Airlines Co, Delta Air Lines Inc, dan Alaska Air Group Inc — berkumpul dan berbagi cerita serupa tentang bagaimana masalah Boeing memengaruhi bisnis mereka.

Mereka mengeluhkan risiko kekurangan pesawat yang seharusnya diagendakan untuk diterima pada 2024, gegara Boeing memperlambat produksinya. Kerawanan itu pun diproyeksi tidak hanya akan terjadi pada pada tahun ini saja.

Pada acara investor JPMorgan, Chief Executive Officer United Scott Kirby mengatakan bahwa dia bahkan telah meminta Boeing untuk berhenti memproduksi jet 737 Max 10 untuk maskapai tersebut karena batas waktu untuk sertifikasi varian terbesar jet lorong tunggal telah menjadi sangat sulit dan tidak pasti.

Adapun, Southwest mengaku pesimistis akan menerima satu pun pesawat 737 Max 7 yang telah lama ditunggu-tunggu tahun ini, dan hanya akan menerima 46 model Max 8. Sebelumnya, maskapai ini memperkirakan akan menerima 79 pesawat pada 2024.

Southwest akhirnya terpaksa mengurangi kapasitas penumpang pada 2024 dan memangkas sebagian besar perekrutan —termasuk 50% lebih sedikit pilot dan 60% lebih sedikit pramugari — seiring dengan peninjauan ulang rencana pengeluarannya, sebagai respons terhadap gangguan pengiriman dari Boeing.

(dov/wdh)

No more pages