Logo Bloomberg Technoz

Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengungkapkan, usulan pengurangan upah itu dilatarbelakangi oleh situasi sulit yang dialami dunia usaha belakangan ini. Terutama industri manufaktur yang berorientasi ekspor seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) atau alas kaki.

“Usulan ini dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Apindo ikut mendukung,” kata Anton kepada Bloomberg Technoz, kemarin.

Anton menambahkan, pemesanan (order) sepatu menurun sampai 50% sementara garmen berkurang hingga 30%. Penurunan ini utamanya dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

Oleh karena itu, Anton menyebut dunia usaha membutuhkan keringanan. Salah satunya dalam bentuk bisa menyesuaikan upah sehingga mengurangi pengeluaran.

“Untuk mengurangi terjadinya PHK massal, maka beberapa asosiasi itu memberi usulan,” ujarnya.

Ekspor Memang Lesu

Anton ada benarnya. Akibat permintaan luar berkurang, kinerja ekspor Indonesia memang mengendur belakangan ini sehingga menjadi masalah bagi dunia usaha.

Pada Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor tercatat US$ 21,4 miliar. Naik 4,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Namun ini jauh melambat dibandingkan pertumbuhan Januari 2023 yang 16,37% yoy dan juga menjadi yang terlemah sejak Oktober 2020.

Secara bulanan (month-to-month/mtm), ekspor bahkan mengalami kontraksi 4,15%.

Sebagai contoh, ekspor alas kaki (HS 64) pada 2 bulan pertama 2023 tercatat US$ 1,06 miliar. Anjlok 17,39% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kelesuan permintaan ekspor produk manufaktur tergambar dalam laporan Purchasing Managers’ Index (PMI). Pada Februari 2023, skor PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2. Turun dibandingkan Februari yang 51,3. Sub-indeks keyakinan bisnis bahkan berada di titik terendah sejak Mei 2020.

Pada Februari 2023, produksi industri manufaktur memang masih meningkat, tetapi lebih didukung oleh permintaan dalam negeri. Sementara permintaan ekspor masih turun. Dunia usaha yang menjadi responden menilai permintaan eksternal yang lemah masih membebani penjualan ekspor.

“Secara umum, sentimen industriawan manufaktur di Indonesia masih positif. Namun penurunan keyakinan bisnis ke titik terendah dalam hampir 3 tahun tentu mengkhawatirkan. Ini akan ditentukan oleh kondisi permintaan, terutama dari luar negeri, agar keyakinan mereka meningkat,” sebut Jingyi Pan, Economics Associates Director S&P Global, dalam keterangan tertulis.

Konsumsi Rumah Tangga Dipertaruhkan

Di sisi lain, buruh tentu keberatan jika upahnya harus berkurang. Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), juga menilai aturan ini bisa mematikan industri berorientasi pasar dalam negeri.

“Perusahaan orientasi ekspor dibolehkan membayar upah hanya 75%, tetapi perusahaan domestik tidak boleh. Ini diskriminatif. Apakah Menaker bermaksud mematikan perusahaan dalam negeri?” tegasnya kepada Bloomberg Technoz.

Mengurangi upah buruh juga bisa berdampak terhadap perekonomian secara luas. Apalagi pekerja di sektor manufaktur jumlahnya cukup banyak.

BPS mencatat, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang bekerja per Agustus 2022 adalah 135,3 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 14,17% bekerja di sektor industri pengolahan, ketiga terbanyak setelah pertanian (28,61%) dan perdagangan (19,36%).

Penurunan upah pekerja manufaktur tentu akan mengurangi daya beli. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Tahun lalu, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai 51,87%.

Juniman, Ekonom Maybank Indonesia, menilai kebijakan ini terlalu reaktif dan mencari jalan pintas. Sebab, menurutnya masih ada jalan lain untuk menyelamatkan dunia usaha yang terdampak penurunan permintaan ekspor.

Pertama, pemerintah bisa memfasilitasi untuk membuka pasar-pasar baru, bukan lagi yang tradisional seperti AS dan Eropa. “Misalnya India, Afrika, atau Asia Tengah,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.

Kedua, pemerintah bisa memberikan insentif bagi dunia usaha untuk mengurangi biaya input (input cost). Misalnya keringanan pajak untuk impor bahan baku, kemudahan perizinan, dan sebagainya.

Ketiga, pemerintah juga bisa mengizinkan produk yang tidak bisa diserap di pasar ekspor untuk dijual di dalam negeri. Dengan begitu, perusahaan tetap menerima pendapatan karena produknya terjual. “Di sisi lain, pemerintah kemudian perlu memperketat impor produk sejenis,” katanya.

Tiga opsi ini, menurut Juniman, lebih berdimensi jangka panjang, bukan sekadar jalan pintas. “Pemotongan upah tidak menyelesaikan masalah, malah bisa menimbulkan masalah di internal perusahaan sendiri. Bisa memicu gelombang demonstrasi yang akhirnya malah kontraproduktif,” tegasnya.

(aji)

No more pages