Sebelumnya, konflik Laut Merah memang menyebabkan tren kenaikan harga minyak - khususnya Brent - hingga hampir menyentuh US$80/barel, setelah selama dua bulan ke belakang sempat melandai.
Hari ini, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari turun 33 sen dan ditutup di level US$73,89 per barel di New York. Brent untuk penyelesaian Februari turun 31 sen dan ditutup di US$79,39 per barel.
Laut Merah sendiri merupakan jalur perdagangan penting untuk minyak, dan telah menjadi semakin penting bagi barel-barel dari Rusia yang menuju Asia setelah para pembeli Eropa melakukan embargo setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Sentimen yang ada juga masih bersifat bearish, terlihat juga dari investor yang masih ragu pada OPEC+ akan mampu memperketat pasar pada kuartal berikutnya, mengingat peningkatan produksi minyak di AS, Guyana, dan Brasil. Patokan AS turun sekitar 8% untuk tahun ini.
RI Masih Butuh Minyak
Sejalam dengan kekhawatiran itu, Moshe juga mengatakan Indonesia sendiri masih membutuhkan minyak sebagai pasokan energi utama, meski saat ini sedang ada tren penggunaan energi bersih melalui industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang tidak menggunakan minyak.
"[Isu] yang selalu kita lupa ini seolah-olah EBT bisa secara cepat menggantikan semuanya, lalu coal phasing out [pemadaman pembangkit batu bara] itu bisa dilakukan secara cepat, EV bisa diadopsi secara cepat. Enggak ada yang cepat, semua lama, EBT bakal lama pengadopsiannya," tuturnya.
Dia mencontohkan, meski mulai ada tren kenaikan, jumlah kendaraan EV di RI terbilang masih cukup jauh dibandingkan kendaraan konvensial.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sepanjang Januari—Oktober 2023, total penjualan mobil di dalam negeri mencapai sekitar 920 ribu unit. Namun, porsi mobil EV hanya sekitar 11,9 ribu unit.
(ibn/wdh)