Meski Indonesia diklaimnya telah mencatat kemajuan, namun peningkatan jumlah penyedia layanan pelaporan kredit, harmonisasi sistem, serta integrasi data alternatif dinilai perlu ditingkatkan.
Sehingga sejalan dengan catatan tersebut, World Bank juga turut mendorong adanya mandat yang lebih jelas serta inovasi produk agar lembaga penjaminan dapat memperluas selera risiko dan mendukung pembiayaan investasi UMKM yang lebih kompleks dan berorientasi pada peningkatan produktivitas.
"Kerangka open finance yang kuat—yang menghubungkan data pembayaran, utilitas, registrasi usaha, informasi sertifikasi tanah, serta registrasi jaminan fidusia atas aset bergerak—dapat secara signifikan meningkatkan akurasi penilaian kredit, menurunkan biaya pinjaman, dan membuka akses ke beragam layanan keuangan yang lebih luas," ungkap World Bank.
"Reformasi pelengkap di bidang kepailitan, penyelesaian utang, hak kreditor, serta kerangka fidusia juga akan semakin memperkuat kepercayaan pemberi pinjaman dan memperluas basis UMKM yang layak dibiayai," jelasnya.
Adapun dalam riset terbarunya tersebut, World Bank mencatat lebih dari 85% debitur KUR merupakan penerima kredit formal pertama kali. Sehingga program ini juga dinilai berhasil menjangkau pelaku usaha yang sebelumnya belum tersentuh layanan perbankan.
Adapun penjaminan kredit KUR diberikan oleh perusahaan penjaminan publik dan swasta yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan imbalan biaya penjaminan.
Sebagai catatan saja, hingga November 2025, penyaluran KUR UMKM sudah mencapai 83% atau sekitar Rp238 triliun, dari target sebesar Rp286 triliun pada 2025 ini.
Dari target tersebut, KUR telah disalurkan pada 2,25 juta debitur baru atau sekitar 96%, dari target sebanyak 2,34 juta debitur. Kemudian, untuk debitur graduasi naik melampaui target sebanyak 112% atau sekitar 1,3 juta debitur, dari target 1,2 juta debitur.
(dhf)





























