“Dalam satu tahun pelaksanaan, kita melihat banyak persoalan, mulai dari dugaan korupsi, tujuan yang ketercapaiannya diragukan, kenaikan harga pangan lokal, ketimpangan, hingga transparansi yang sangat lemah,” katanya.
Dalam evaluasi tujuan perbaikan gizi dan penurunan stunting, Isnawati mengungkapkan bahwa hasil studi CELIOS menunjukkan 26% responden berpendidikan D3 hingga sarjana menilai MBG tidak mampu menurunkan stunting. Ia menegaskan, berbagai penelitian ilmiah telah menyatakan bahwa pemberian makanan di sekolah tidak berdampak langsung terhadap penurunan stunting, yang seharusnya difokuskan pada 1.000 hari pertama kehidupan anak.
CELIOS juga menemukan adanya kesalahan inklusi atau salah sasaran program MBG sebesar 34,20% yang berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran hingga Rp 8,4 triliun. “Jika mengacu pada studi Hodinott dkk (2013), potensi manfaat investasi yang hilang akibat pemborosan tersebut bisa mencapai Rp 404,6 triliun,” jelas Isnawati.
Pada tujuan perubahan perilaku dan kondisi fisik anak, Isnawati menyebut lebih dari 50% orang tua, bahkan mencapai 60% ibu, menyatakan tidak ada perubahan berat badan anak setelah menerima MBG.
Selain itu, 51% orang tua menilai anak tidak menjadi lebih aktif dan fokus, sementara 54 persen menyebut tingkat kerajinan anak tetap sama.
“Tidak ada data kuat yang mendukung klaim pemerintah bahwa MBG meningkatkan berat badan, fokus, atau kecerdasan anak. Bahkan jika ada kenaikan berat badan, itu bisa bersifat semu dan tidak sehat karena dominasi makanan ultra-proses,” ujarnya.
Isnawati juga membandingkan anggaran MBG dengan kebutuhan sektor pendidikan. Ia menyebut anggaran MBG selama 12 hari saja di tahun 2026 setara dengan biaya untuk membayar seluruh guru honorer di Indonesia dengan gaji Rp1,7 juta per bulan selama satu tahun penuh. Menurutnya, hal ini menunjukkan kontradiksi kebijakan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.
Sementara itu, terkait tujuan pengurangan beban keluarga, Isnawati mengungkapkan lebih dari 30% orang tua merasa MBG tidak membantu mengurangi pengeluaran rumah tangga. Bahkan, 64% orang tua mengaku tetap harus membeli makanan tambahan ketika anak menolak konsumsi MBG, terutama akibat kualitas rasa, gizi, dan higienitas makanan yang dinilai kurang.
(dec/spt)






























