Wisatawan China adalah pembelanja terbesar di Jepang, menyumbang seperlima dari pendapatan pariwisata nasional sebesar ¥8,1 triliun (Rp860 triliun). Penarikan mendadak mereka — yang dipicu oleh imbauan Beijing setelah komentar perdana menteri Jepang tentang Taiwan — mengancam salah satu dari sedikit titik terang bagi perekonomian Jepang.
Pemesanan wisatawan China untuk perjalanan ke Osaka pada musim dingin dan awal musim semi turun 55% hingga 65% — penurunan yang lebih tajam dibandingkan rata-rata nasional, dengan Bandara Internasional Kansai menanggung porsi pembatalan yang tidak proporsional, menurut peneliti pasar China Trading Desk.
Pengeluaran barang mewah oleh wisatawan China di Osaka diperkirakan turun sekitar separuhnya menjadi US$40 juta–US$60 juta per bulan, kata mereka.
Kerugian ekonomi Jepang dapat mencapai ¥1,2 triliun (Rp127 triliun tahun depan jika pembekuan perjalanan berlanjut, ujar Hiromu Komiya, ekonom di Japan Research Institute, seraya menambahkan bahwa pelonggaran ketegangan yang cepat dapat membatasi kerugian sekitar ¥500 miliar.
Pembalikan tren ini terjadi setelah Osaka menikmati lonjakan kedatangan wisatawan China hampir 50% awal tahun ini, didorong oleh World Expo enam bulan yang meningkatkan pariwisata di seluruh wilayah tersebut. Kini, laporan lokal dan unggahan media sosial menunjukkan kerumunan yang makin menipis di Shinsaibashi dan Shinsekai — kawasan yang dulunya menjadi favorit rombongan wisatawan China — dengan bus tur yang lenyap dan rumah makan melaporkan lebih sedikit pelanggan.
Beberapa hotel mencatat tingkat pembatalan sebesar 50%–70%, dengan Namba — pusat transportasi dan rekreasi utama di Osaka — menjadi yang paling terdampak, menurut kantor pariwisata Osaka.
Tekanan ini diperkirakan akan makin meningkat menjelang Tahun Baru Imlek, kata Komiya dari JRI, menambahkan bahwa destinasi musim dingin seperti pemandian air panas dan resor ski mungkin akan merasakan beban tambahan.
China telah memerintahkan maskapai penerbangannya untuk mengurangi penerbangan ke Jepang hingga Maret 2025. Bahkan jika rute kembali normal setelah Maret 2026, Jepang mungkin tidak sepenuhnya mendapatkan kembali pangsa pasar karena wisatawan beralih ke Korea Selatan dan Asia Tenggara, kata Subramania Bhatt, CEO China Trading Desk.
“Jepang mungkin bisa memulihkan sekitar setengah hingga dua pertiga dari volume wisatawan China yang hilang dalam 12 hingga 18 bulan berikutnya,” kata Bhatt.
“Namun era ketika China dianggap sebagai mesin pertumbuhan yang selalu dapat diandalkan bagi pariwisata Jepang — dan bagi tempat-tempat seperti Osaka secara khusus — sudah berakhir untuk saat ini.”
Basis yang Lebih Beragam
Perubahan ini memaksa Jepang untuk lebih mengandalkan pasar lain guna menutupi kekurangan tersebut.
Di Hotel Stargate Kansai Airport di Osaka, jumlah pelanggan China telah turun 20 poin persentase menjadi 30% dari tingkat sebelum pandemi, kata Jiro Kobayashi, direktur kamar. Properti itu kini membidik Asia Tenggara, Taiwan, dan Korea Selatan untuk mengisi kembali permintaan, ujarnya.
Rantai kosmetik Yojiya di Kyoto melaporkan penurunan 10% dalam penjualan kepada pelanggan Tiongkok pada akhir November, tetapi kerugian tersebut tertutupi oleh permintaan domestik.
Jepang telah mendorong daerah-daerahnya untuk memperluas keragaman pengunjung sejak pembukaan kembali pascapandemi. Progresnya tidak merata tetapi terlihat jelas. Di Gifu, wisatawan China kini menyumbang 10% dari total masa inap, turun dari 41% pada 2019, menurut data pemerintah. Di Shizuoka, angka itu turun menjadi 45% dari 71%.
Pelaku ritel juga menyesuaikan diri. Toko utama Matsuya Co. di Ginza mencatat penurunan penjualan bebas bea sekitar 15% bulan lalu dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun penjualan keseluruhan hanya turun 1,2%.
Takashimaya Co. melaporkan penurunan 3,1% untuk penjualan bebas bea, tetapi pendapatan keseluruhan naik 3,5%.
Jaringan toko obat MatsukiyoCocokara & Co., yang memperoleh sekitar 6% dari total penjualannya dari wisatawan mancanegara, mengatakan bahwa mereka belum melihat dampak besar dan tetap fokus pada permintaan domestik.
Penurunan mendadak dalam pariwisata China pada akhirnya dapat membantu mempercepat perubahan Jepang menuju basis pengunjung yang lebih beragam, kata Akiko Kohsaka, peneliti senior di JRI.
“Ini mungkin mendorong perubahan lebih lanjut dalam cara daerah memposisikan diri di pasar,” katanya.
“Penting untuk menyiapkan fondasi bagi masa depan.”
(bbn)































