Menurut Purbaya, temuan para ekonomi itu menjelaskan suku bunga rendah tidak berarti kebijakan longgar apabila pertumbuhan uang justru negatif. Sehingga kombinasi tersebut terbukti memperdalam krisis AS kala itu.
"Kalau anda mau lihat kebijakan moneter, longgar atau ketat, anda jangan lihat dari bunga, tapi lihat dari laju pertumbuhan uang beredar base money, M0 katanya," ungkap Purbaya.
Pemahaman inilah yang kemudian ia kaitkan dengan pengalaman Indonesia pada krisis moneter 1997–1998, yang menurutnya menunjukkan kesalahan serupa.
Kala itu Indonesia menaikkan suku bunga untuk menjaga rupiah, namun di saat yang sama bank sentral menginjeksikan uang besar-besaran ke sistem perbankan.
"Akibatnya apa? Bunga tinggi, berbagai sektor hancur. Uang banyak, [tapi] rupiah hancur," tegasnya.
Dengan demikian, pelajaran tersebut menurutnya relevan ketika ia mulai menjabat sebagai Menteri Keuangan. Ia menggambarkan kondisi ekonomi saat itu sebagai, tidak baik-baik saja, dengan perlambatan yang berbahaya dan indikasi potensi resesi.
Tekanan ekonomi bahkan telah memicu aksi protes besar, yang menurut analisisnya tidak akan mereda jika kebijakan tidak segera diperbaiki.
Terlebih ia menjelaskan, ekonomi Indonesia sempat 'diberhentikan' akibat kebijakan yang salah arah, khususnya dari sisi pengelolaan uang dalam sistem.
Sehingga, merujuk pada analisis moneter yang ia pelajari, Purbaya menilai langkah awal yang menentukan adalah memastikan pertumbuhan uang kembali normal agar mesin ekonomi dapat bergerak.
"Jadi tahun 1998 itu, kita membiayai kehancuran ekonomi kita. Itu pelajaran yang saya dapat dari krisis 1998, setelah itu saya perhatikan, jangan sampai terulang kembali lagi," tuturnya.
(prc/naw)





























