Logo Bloomberg Technoz

Lonjakan jumlah impor beras terjadi pada 2023, angkanya cukup fantastis dari 429,2 ribu ton menjadi 3,06 juta ton atau naik sebanyak 614%. 

Melonjaknya jumlah impor beras pada 2023 tidak berbanding lurus dengan kondisi penurunan panen beras lokal. Di tahun yang sama, produksi beras lokal hanya turun 1,4% dari 54,74 juta ton menjadi 53,98 juta ton.

Sedianya impor beras dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang tidak terakomodir oleh produksi lokal. 

Tahun

Produktivitas (ku/ha)

Produksi (ton)

Luas Panen (ha)

2019

51,14

54.604.033,34

10.677.887,15

2020

51,28

54.659.202,24

10.657.274,96

2021

52,26

54.415.294,22

10.411.801,22

2022

52,38

54.748.977,00

10.452.672,00

2023

52,85

53.980.993,19

10.213.705,17

2024

52,90

53.142.726,65

10.046.135,36

Sumber: BPS, diolah

Tahun ini, impor beras masih terjadi. BPS mencatat impor beras sepanjang Januari-Agustus sebanyak 264,57 ribu ton. Memang turun drastis ketimbang delapan bulan pertama tahun lalu yang mencapai 3,05 juta ton.

Selama Januari-Agustus, impor beras terbanyak datang dari Myanmar yaitu 102,52 ribu ton. Kemudian dari Thailand (68,15 ribu ton), India (33,68 ribu ton), dan Vietnam (30,14 ribu ton).

Apakah kebutuhan beras Indonesia sedemikian besar? 

Data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengungkapkan, Indonesia merupakan negara konsumen terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Bangladesh. USDA memprediksi sepanjang 2024-2025, Indonesia membutuhkan beras 36,6 juta ton untuk dikonsumsi.

Akan tetapi, jika dibandingkan empat negara konsumen beras terbesar di dunia tersebut, tingkat ketergantungan konsumsi beras Indonesia paling tinggi. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia menempati posisi 10 besar dalam konsumsi beras perkapita, sebesar 185,2 kg. Sementara, meski China menempati posisi pertama, tingkat konsumsi per kapitanya cenderung  lebih rendah, 99 kg per tahun. 

Mengacu pada data BPS, tingkat konsumsi beras (beras lokal kualitas unggul/beras impor) per kapita Indonesia turun tipis 2,47% dari 827.284 kg beras pada tahun 2023 menjadi 806.863 kg di tahun 2024. Artinya, ketergantungan konsumsi masyarakat terhadap beras relatif turun, meski sedikit. Hal ini tentu baik bagi program pemerintah yang tengah menggenjot program swasembada. 

Tahun

Jumlah (kg)

2023

827.284

2024

806.863

Data konsumsi beras per kapita (bps.go.id)

Misi Swasembada 

Presiden Prabowo Subianto menargetkan swasembada beras pada masa pemerintahannya. Target yang sedianya akan dicapai dalam empat tahun, diklaim tercapai dalam satu tahun.

Dalam Sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Prabowo mengklaim Indonesia telah mencapai swasembada dan berhasil ekspor ke beberapa negara, termasuk Palestina.   

“Kami yakin dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia,” ujar Prabowo pada September lalu. 

Menurut data beras nasional, produksi beras pada Januari-Oktober 2025 mencapai 31,03 juta ton, yang diklaim menjadi angka tertinggi. Padahal tahun lalu saja, total beras nasional yang berhasil diproduksi sebesar 53,1 juta ton.

Artinya, produksi beras harus mampu menambal kekurangan sebanyak 22,11 juta ton untuk bisa menyamakan produktivitas tahun lalu. 

Ancaman Krisis Iklim

Pemerintah perlu memperhatikan ancaman serius dari krisis iklim yang akan mempengaruhi target swasembada beras. Krisis ini membayangi target swasembada dan rantai pasok pangan.

Beberapa hari terakhir ini, di berbagai wilayah Indonesia terjadi ancaman banjir dan longsor. Krisis iklim, seperti banjir atau kekeringan akan mempengaruhi tingkat produktivitas pertanian, termasuk sawah.   

Kebijakan pemerintah sebaiknya lebih bersifat komprehensif tidak lagi menggunakan pendekatan stabilitas harga dengan menjadikan beras sebagai komoditas politik.

Selain itu, Harga Pembelian (HPP) yang pemerintah tetapkan kepada petani belum mampu mendorong petani untuk memperbaiki lahan, menggunakan benih unggul, atau menggunakan teknologi sebagai inovasi sistem pertanian. Di sisi lain, rendahnya produktivitas dan tingginya rantai pasok pertanian di Indonesia membuat biaya produksi beras lokal lebih tinggi. 

Sehingga, di tengah ancaman krisis iklim, mengimpor beras masih menjadi pilihan cepat dalam jangka pendek.  

(dsp/aji)

No more pages