Jika selama ini PLTP Lahendong unit 1 hingga 4 menggunakan uap atau steam bertekanan tinggi secara langsung untuk memutar turbin, maka pada sistem binary plant uap yang digunakan berasal dari sisa panas bumi bertekanan rendah yang tidak dapat diakomodasi oleh sistem utama.
“Kalau binary unit itu sistemnya dengan PLTP panas bumi yang ada sekarang itu berbeda. Jadi untuk binary itu memanfaatkan steam yang tidak bisa terakomodir atau uap yang tidak bisa terakomodir,” kata dia.
Di sisi lain, dia menambahkan, beberapa sumur hasil pengeboran memiliki tekanan hanya sekitar 5 bar atau bahkan di bawahnya, sementara sistem PLTP eksisting membutuhkan tekanan sekitar 7,5 bar.
PLN IP bersama Pertamina Geothermal Energy (PGEO) mengembangkan sistem binary untuk memanfaatkan sumber panas tersebut agar tetap produktif.
Lebih lanjut, Saragih mengatakan kapasitas pembangkit binary plant memang tidak sebesar PLTP konvensional, namun teknologi ini dinilai efisien karena mampu memanfaatkan energi panas bumi yang sebelumnya terbuang.
“Dari steam tadi ini ada prosesnya untuk bisa digunakan memutar turbin, dan kapasitasnya pun tidak sama dengan yang ada sekarang,” ungkap dia.
Sebelumnya, PLN IP telah merampungkan pembentukan usaha patungan atau joint venture (JV) bersama dengan PGEO untuk mengelola proyek co-generation, dengan potensi tambahan listrik 230 megawatt (MW).
Rencanannya, usaha patungan dua perusahaan pelat merah itu rampung bulan ini. Adapun, PGEO diketahui bakal memegang saham mayoritas dengan kepemilikan sekitar 51% sampai dengan 70% pada joint venture tersebut.
“Kami optimistis proses ini akan segera selesai dalam waktu dekat,” kata Manager Corporate Communication & CSR PGEO Muhammad Taufik saat dimintai konfirmasi, Selasa (5/8/2025).
Muhammad berharap struktur kepemilikan pada anak usaha patungan itu nantinya dapat mencerminkan kontribusi masing-masing pihak untuk meningkatkan kapasitas listrik pada sejumlah portofolio panas bumi PGEO.
Adapun, usaha patungan itu bakal mengejar commercial operation date (CoD) atau operasi komersial dari pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Lahendong Binary Unit (15 MW) dan PLTP Ulubelu Binary Unit 30 MW, dengan total investasi keseluruhan mencapai US$165 juta.
PGEO menargetkan 2 proyek co-generation awal itu bisa COD pada Desember 2026, dengan kegiatan engineering, procurement, construction and commissioning (EPCC) dimulai Oktober 2025.
“Kami berharap dapat menciptakan sinergi yang tidak hanya memperkuat aspek teknis dan operasional, tetapi juga mendukung percepatan proses power purchase agreement [PPA],” tuturnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turut mengadopsi teknologi co-generation dalam pengembangan PLTP dengan kapasitas 230 MW pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025—2034.
Beberapa wilayah kerja panas bumi (WKP) yang telah diidentifikasi sebagai lokasi proyek antara lain Lahendong, Ulubelu, Lumut Balai, Hululais, Kamojang, Sibayak, dan Sungai Penuh.
Binary cycle sendiri merupakan salah satu teknologi yang umum digunakan dalam PLTP.
Sistem ini memanfaatkan fluida kerja atau working fluid dengan titik didih yang lebih rendah dibandingkan dengan air, seperti isobutana atau pentana. Fluida kerja ini dipanaskan oleh uap panas bumi, menguap, dan menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.
Sementara itu, panas yang masih tersisa dalam fluida sekunder dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pemanasan ruangan atau proses industri.
(azr/naw)































